Kandas Mimpi Datuk Talangik pada Piala Dunia U-20
Setelah kembali ke Palembang Datuk Faisal memberi tahu bahwa PSSI memasukan stadion Gelora Sriwijaya sebagai salah satu kandidat venue atau host Piala Dunia U-20 tahun 2021. Masuk juga nama stadion Gelora Bung Tomo dalam daftar stadion yang diajukan PSSI. Ada 10 stadion yang dimasukan dalam proses bidding tersebut.
PSSI lalu membawa nama 10 stadion pada general meeting FIFA di Shanghai, China pada 24 Oktober 2019. Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) akhirnya menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Menyisihkan Brazil dan Peru. Inilah sejarah pertama kali Indonesia menjadi tuan rumah kompetisi sepak bola tertua kedua FIFA setelah Piala Dunia.
Untuk bisa terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia U-22 menurut Ratu Tisha delegasi FIFA datang ke Indonesia melakukan inspeksi. Ada tiga tahapan sebelum penunjukan host Piala Dunia. Pertama, menyerahkan dokumen yang terdiri lebih dari 250 kategori. Kedua, eligibility semua dokumen secara administrasi. Ketiga, FIFA melakukan inspeksi langsung. Pada 16-19 September 2019, delegasi FIFA melakukan survei ke 5 dari 10 stadion yang PSSI ajukan sebagai venue pertandingan.
Kini mimpi Datuk Talangik kandas sudah. Perjuangan maksimal Ketua Umum PSSI Erick Thohir agar Indonesia tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 kandas setelah FIFA melansir putusannya di laman website www.fifa.com. Setelah dibatalkan, Datuk berharap tidak ada sanksi yang dijatuhknan FIFA kepada Indonesia seperti tahun 2015.
Dari Doha, Qatar Ketua Umum PSSI Erick Thohir menyampaikan. “Saya sudah berjuang maksimal. Setelah menyampaikan surat dari Presiden Jokowi dan berbicara panjang dengan Presiden FIFA Gianni Infantino, kita harus menerima keputusan FIFA yang membatalkan penyelenggaraan even yang kita sama-sama nantikan itu.”
Tinggal Kenangan
Dengan pembatalan ini, kita hanya bisa mengenang bahwa tim nasional Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu peserta pada Piala Dunia U-20 tahun 1979 di Jepang yang waktu itu bernama Piala Coca Cola.
Tim nasional Indonesia yang dipimpin Chief de Mission Maulwi Saelan berangkat sebagai wakil Asia. Selain Jepang sebagai tuan rumah yang lolos otomatis, dua jatah Asia menjadi milik juara dan Runner-up Piala Asia Junior 1978, yaitu Korea Selatan dan Irak.
Pada putaran final Piala Dunia U-20 yang berlangsung 25 Agustus-7 September 1979 tersebut, Irak sebagai Runner-up Piala Asia Junior mundur, maka sebagai gantinya Korea Utara yang berada pada peringkat III. Korea Utara pun mundur dari turnamen yang disponsori perusahaan minuman Amerika Serikat (AS) Coca Cola.
Keburuntungan menjadi milik tim nasional Indonesia yang ada Piala Asia Junior sudah tersingkir sejak perempat final Piala Asia. Tim asal Timur Tengah yang menjadi perempat finalis ternyata juga ogah tampil di Piala Dunia U-20 1979 tersebut, yang tersisa Indonesia. FIFA akhirnya menetapkan tim nasional Indonesia sebagai wakil Asia menggantikan negara-negara yang tidak berkenan mengikuti turnamen tersebut.
Tim nasional Indonesia pun berangkat ke Jepang bergabung di Grup D bersama bersama Argentina, Polandia, dan Yugoslavia. Tim yang dilatih Sutjipto Suntoro melakoni pertandingan dengan pertama melawan Argentina yang diperkuat calon legendanya Diego Armando Maradona.
Hasilnya Indonesia kalah 5 - 0, dua gol dicetak Maradona, tiga gol lainnya dari Ramon Diaz. Pada laga kedua melawan Polandia, Indonesia menelan kekalahan 6 - 0. Pada laga terakhir melawan Yugoslavia kembali tim nasional Indonesia kebobolan lima gol tanpa balas.
Apa yang terjadi pada 1979 sama seperti kenangan ketika tim nasional Indonesia berlaga pada Olimpiade Melbourne, Australia tahun 1956. Waktu itu skuat Garuda lolos ke babak perempat final melawan Uni Soviet yang diperkuat pemain kaliber dunia masa itu. Ada Igor Netto, Valentin Ivanov dan kiper atau penjaga gawang legendaris Lev Yashin. Pada pertandingan yang berlangsung stadion Olympic Park, Melbourne, Australia, 29 November 1956 timnas Indonesia atau Ramang Cs sukses menahan Uni Sovyet dengan skor 0 – 0.
Untuk menentukan siapa yang berhak lolos ke babak semifinal, karena saat itu belum diberlakukan aturan adu pinalti, maka harus dilakukan pertandingan ulang. Pada pertandingan 1 Desember 1956 tim asuhan pelatih Toni Pogacnik harus mengakui keunggulan Uni Sovyet yang kemudian meraih medali emas dengan skor 4 – 0. Walau menderita kekalahan, itu salah satu kenangan yang terus terkenang sampai kini. (maspril aries)