108 Ekor Leuchopsar rothschildi Terbang Kembali ke Habitatnya
KAKIBUKIT – Jika ada yang bertanya, “Burung apa yang terkenal dari Pulau Bali?” Maka semua akan menjawab sama “Burung Jalak Bali.”
Jika kemudian ada pertanyaan, “Selain Jalak Bali, apakah tahu dengan burung Curik Bali?” Semakin bingung lagi menjawabnya jika pertanyaan, “Tahukah anda dengan Leuchopsar Rothschildi?” Sebagian besar akan terdiam dahulu sebelumnya menjawabnya seraya bertanya dalam hati, “Apa itu burung Curik Bali?”
Burung Curik Bali atau nama latinnya Leuchopsar rothschildi memang kalah populer dibandingkan burung Jalak Bali. Namun keduanya sama-sama termasuk dalam kelompok satwa yang hampir punah (critical endangered). International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak tahun 1966, memasukkan burung Curik Bali sebagai satwa yang hampir punah. Demikian pula halnya dengan burung Jalak Bali yang punya nama latin Leucopsar rothschildi masuk dalam Red Data Book IUCN tahun 2012. Keduanya masuk kategori satwa yang paling terancam punah (critically endangered). Ancaman terjadi akibat berkurangnya daerah jelajah dan penangkapan burung secara ilegal untuk untuk perdagangan ataupun sebagai burung peliharaan. Semua berakibat menurunnya jumlah populasi liarnya di alam sampai batas kritis terendah.
Lambat laun berkat usaha konservasi ex situ link to in situ telah berhasil menyelamatkan populasi burung Curik Bali. Pada puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Wakil Menteri LHK Alue Dohong bersama Plt Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian LHK Bambang Hendroyono melepasliarkan 108 ekor Leuchopsar rothschildi atau burung Curik Balik ke habitat alaminya.
Pelepasliaran pada 2 September 2022 berlangsung di tiga lokasi yaitu Pantai Karangsewu dilepaskan 14 ekor burung Curik Bali, di Teluk Brumbun sebanyak 80 ekor, dan di Labuhan Lalang sebanyak 14 ekor.
Sebelum terbang tinggi ke habitat alaminya, burung-burung tersebut melalui proses habituasi selama lebih dari empat bulan pada masing-masing kandang habituasi yang berada di Resort Gilimanuk, Resort Teluk Brumbun, dan Resort Teluk Terima. Proses habituasi dilakukan agar burung Curik Bali bisa meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap habitat alaminya dan diperiksa secara rutin kesehatannya.
“Sampai kini telah terjadi pemulihan populasi Curik Bali di Taman Nasional Bali Barat hingga April 2022 sebanyak 452 ekor. Peran konservasi ex situ link to in situ telah berhasil menyelamatkan populasi curik Bali,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya
“Curik Bali sebagai bagian penting dari rantai makanan dan ekosistem, untuk itu harus terus dilakukan pengembangan metode-metode pengembang biakan bersama-sama dengan pemerintah daerah, desa adat, pihak swasta, serta akademisi dan media massa,” ujar menteri peraih profesor kehormatan dari Universitas Brawijaya (Unbraw).
Pada sekitar tahun 1900-an burung Curik Bali di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) jumlah populasi buruk Curik Bali sangat rendah. Tahun 2001 menurut Siti Nurbaya, hanya tersisa enam ekor. “Hal ini menjadi pertimbangan International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak tahun 1966 memasukkan curik bali sebagai satwa yang hampir punah atau critical endangered.”
Pemerintah Indonesia dengan komitmennya untuk melestarikan keanekaragaman spesies dan genetik beserta eksositemnya, kemudian menetapkan burung Curik Bali sebagai satwa dilindungi sekaligus menjadikan kawasan yang merupakan habitatnya sebagai Taman Nasional dengan salah satu mandatnya untuk melindungi Curik Bali.
Balai Taman Nasional Bali Barat yang mempunyai satwa endemik burung Curik Bali telah berhasil melaksanakan pemulihan populasinya melalui kegiatan pengembangbiakan baik di suaka satwa maupun penangkaran, dengan keaktifan dukungan para pihak.
Saat ini Curik Bali tidak hanya terpantau tersebar di kawasan TNBB, namun juga dapat dijumpai dalam kelompok-kelompok yang menetap atau mencari makan dan bermain di area Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bali Barat, juga di pekarangan rumah desa adat atau masyarakat sekitarnya.