Wartawan Bertaruh Nyawa di Medan Perang Rusia–Ukraina
Oleh : Maspril Aries
KAKI BUKIT – Sudah banyak jurnalis atau wartawan berdatangan ke medan perang Rusia – Ukraina. Mereka berdatangan bukan hanya wartawan dari kawasan Eropa tapi dari penjuru dunia. Ada wartawan dari Amerika Latin, yakni dari Argentina dan Chili yang sempat ditahan polisi Ukraina karena dicurigai sebagai mata.
Atau kisah mobil wartawan yang diberondong peluru saat melintas di jalanan kota Ukraina. Juga cerita tentang wartawan Rusia yang memilih berhenti dari perusahaan media miliki pemerintah tempatnya bekerja. Mereka memilih berhenti karena rasa cemas dan khawatir karena harus meliput ke medan perang sekaligus sebagai protes atas invasi negara beruang merah itu ke Ukraina.
Kabar lainnya, jurnalis senior Eva Mazrieva yang bertugas di VOA Washington DC menulis di laman media sosial (medsos) tentang tewasnya seorang fixer Oleksandra “Shasa” Kuvshynova, usia 24 tahun yang bekerja untuk tim salah satu stasiun TV di AS (Amerika Serikat) ikut tewas bersama cameramen Pierre Zakrzewski ketika mobil mereka diserang saat meliput di pinggiran Kiev.
Fixer adalah orang yang membantu jurnalis asing dalam pelaksanaan tugas liputan di suatu tempat di luar negaranya. Biasanya fixer seorang wartawan atau jurnalis lokal/ setempat. Tugas fixer biasanya terkait dengan berita, mencari kontak nara sumber, mengatur perjalanan liputan ada juga yang bertugas mewawancarai nara sumber setempat, penerjemah sampai membuat laporan berita. Fixer adalah mereka yang membantu wartawan asing untuk media cetak, online,radio dan televisi.
Sementara itu menurut data Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) di Parlemen Ukraina, Lyudmyla Denisova, pada Selasa (15/3), sudah ada tiga wartawan yang tewas dan lebih dari 30 orang lainnya mengalami cedera sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari. Tiga wartawan yang tewas, adalah wartawan Amerika Serikat (AS) Brent Renaud yang ditembak mati di pinggiran garis depan Kyiv , wartawan Ukraina Evgeny Sakun tewas dalam serangan di menara televisi Kyiv, dan Viktor Dudar wartawan Ukraina tewas dalam pertempuran di dekat kota pelabuhan selatan Mykolaiv.
Bertugas liputan di medan perang atau wilayah konflik bersenjata adalah melaksanakan tugas yang bertaruh nyawa. Perang adalah bentuk konflik umat manusia yang masif dan membawa korban pada pihak-pihak yang berperang maupun pihak lain yang tidak terlibat.
Perang tidak hanya melibat angkatan bersenjata atau militer yang terlibat langsung dalam konflik, namun warga sipil yang tidak ikut bersalah menerima akibat penderitaan fisik dan psikis akibat perang tersebut.
Medan perang atau negara/ wilayah yang diinvasi adalah menjadi tempat yang kurang pengawasan dan pengamatan dari pihak independen terhadap apa yang terjadi, yang dilakukan oleh pihak yang berperang. Wilayah konflik atau medan perang menjadi area yang sangat berbahaya bagi pihak-pihak atau lembaga indepen yang ingin mengawasai pelanggaran hak azazi manusia (HAM) yang terjadi di wilayah tersebut.
Penduduk sipil di area perang akan memilih berlindung dari pada mengawasi pelaksanaan HAM. Pihak yang berperang akan mengatur secara ketat berbagai arus informasi ke luar dari wilayah atau negara yang berperang.
Pada situasi dan kondisi tersebut kehadiran wartawan atau jurnalis di medan perang atau di wilayah konflik bersenjata menjadi penting. Demikian juga dalam masa damai bersama masyarakat wartawan bisa mengawasi jika terjadi pelanggaran HAM oleh pihak-pihak yang bertikai.
Menurut Greg McLaughlin dalam “The War Correspondent” (2016), pekerjaan wartawan perang memiliki kaitan dengan segala risiko dari usaha untuk menyampaikan informasi : tewas, terluka, diculik, dilecehkan, ditangkap, dipenjara dan lain sebagainya. Menghadapi berbagai ancaman di medan tugas tersebut, sejumlah motif rasionalisasi terhadap bahaya dilakukan oleh wartawan perang, antara lain candid reporting (semangat untuk melaporkan perang), pragmatic reporting (mendapatkan cerita di balik perang), dan idealistic reporting (melaporkan apa yang benar-benar terjadi dalam perang serta keadaan yang sesungguhnya dari korban perang).
Dalam situasi perang dikenal ada wartawan atau jurnalis yang melekat pada kekuatan militer (embedded journalist), ada juga jurnalis yang bergerak melaksanakan liputan secara independen tanpa terikat dengan pihak atau militer yang bertempur.
Mengutip Ben Saul dalam jurnal “The International protection of journalist in armed conflict and other violent situations” (2000), “jurnalis merupakan bagian penting dari suatu sistem yang memastikan pelaksanaan aturan-aturan hukum perang, dimana kebanyakan pihak lain tidak hadir. Seringkali melalui laporan berita dari jurnalis bahwa praktik tidak berperikemanusian dalam perang diketahui oleh seluruh dunia, dan fungsinya untuk menyalurkan berita kepada dunia luar dari konflik tersebut memungkinkan opini publik dunia mengutuk metode perang tersebut atau suatu kasus tertentu.”
Liputan wartawan atau jurnalis di medan perang atau wilayah konflik bisa berbahaya dan banyak resiko, Mereka bisa terkena dari bahaya yang muncul dalam konflik atau operasi militer, menjadi korban dalam sebuah medan pertempuran. Wartawan perang berada dalam lingkungan yang tidak bersahabat. Kehadiran wartawan oleh mereka yang berperang menempatkan jurnalis atau wartawan sebagai saksi yang tidak diinginkan karena bisa mengganggu kelancaran operasi atau invasi yang mereka inginkan.
Menghadapi kondisi itu perlindungan terhadap wartawan di medan perang sangat penting agar dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tidak terganggu dan mendapat kebebasan dalam menghimpun berbagai informasi tentunya memastikan keselamatan mereka.
Di medan perang wartawan harus diperlakukan sebagai warga sipil selama mereka tidak melakukan hal yang bertentangan, yaitu terlibat aktif dalam pertempuran. Namun wartawan masih saja menjadi korban tindak kekerasan seperti pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penculikan atau penghilangan yang dilakukan oleh anggota bersenjata atau mereka yang berkonflik/ perang.
Hukum Humaniter
Dalam perang di dunia internasional dikenal adanya Hukum Humaniter Internasional yang pada dasarnya mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil (yang bukan merupakan kombatan), jurnalis atau wartawan adalah pihak non kombatan yang netral dan tidak melakukan perbuatan permusuhan dengan mereka yang berperang. Keberadaan jurnalis atau wartawan di medan perang dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional dan tidak boleh dijadikan sebagai obyek atau sasaran serangan berdasarkan prinsip pembedaan.
Istilah Hukum Humaniter bermula dari istilah Hukum Perang (Law of War) yang kemudian menjad Hukum Sengketa Bersenjata (Law of Armed Conflict) dan kini dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional. Dalam Hukum Humaniter Internasional tidak semua jenis konflik diatur dalam Hukum Humaniter Interansional. Obyek dari Hukum Humaniter Internasional adalah konflik bersenjata (Armed Conflict) yang mencakup konflik bersenjata internasional (International Armed Conflict) dan konflik bersenjata non internasional (Non International Armed Conflict).
Instrumen Hukum Humaniter Internasional terdiri dari Law of Hague yang mengatur tata cara bersengketa tata cara sengketa bersenjata dan Law of Geneva yang memberikan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata atau perang.
Mengutip Mochtar Kusumatmadja (mantan Menteri Luar Negeri Indonesia) dalam sumber Hukum Humaniter Internasional yang mengatur khusus mengenai perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang disebut Geneva laws. Geneva laws atau hukum Jenewa bersumber dari Konvensi Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang yang dikenal juga dengan Konvensi Palang Merah Internasional.
Dalam Konvensi Jenewa 1949 perlindungan kepada wartawan atau jurnalis Di medan perang diatur khusus dalam Konvensi ke-III tentang Tawanan Perang dan Konvensi ke-IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil yang disempurnakan pada Pasal 79 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977.
Untuk dapat diperlakukan sebagai civillian, seorang jurnalis peliput perang dituntut tampil netral dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan/ hostile, dan sebagai pembuktian dan petunjuk atas status mereka, maka jurnalis harus mampu menunjukkan kartu identitas jurnalis seperti yang ditentukan dalam Annex II Protokol Tambahan I/ 1977.
Wartawan dalam instrumen Hukum Humaniter Internasional sudah diatur sejak Law of Hague atau Konvensi Hague 1899 dan 1907. Kemudian dalam Konvensi Jenewa 1929 dan Konvensi Jenewa 1949 yang menggunakan istilah “War Correspondents.” Pada Protokol Tambahan I 1977 dari Konvensi Jenewa untuk wartawan menggunakan istilah “journalist.” Tidak memperoleh status sebagai tawanan perang.
Dalam Pasal 79 Protokol Tambahan I 1977 menyebutkan : 1. Wartawan-wartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjaanya yang berbahaya di daerah-daerah sengketa bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di dalam pengertian Pasal 50 ayat (1).
2. Mereka ini akan dilindungi sedemikian rupa di bawah Konvensi dan Protokol ini, asalkan saja mereka tidak mengambil tindakan yang mempengaruhi secara merugikan kedudukan mereka sebagai orang-orang sipil, dan tanpa mengurangi hak mereka sebagai wartawan perang yang ditugaskan pada angkatan perang dengan kedudukan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 4 A(4) dari Konvensi Ketiga.
3. Mereka ini dapat memperoleh kartu pengenal yang sama dengan model kartu pengenal dalam Lampiran II dari Protokol ini. Kartu ini, yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dari Negara, dari mana wartawan itu adalah warganegaranya atau yang wilayahnya ia bertempat tinggal atau dimana alat pemberitaan yang mempekerjakannya berada, harus menyatakan sebenarnya.
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I-II 1977 adalah aturan yang berlaku bagi konflik bersenjata sehingga wartawan yang dilindungi adalah wartawan yang menjalankan dangerous assignment di daerah konflik bersenjata.
Dalam perang di Ukraina, Pemerintah Rusia dan Pemerintah Ukraina harus berperan aktif melindungi wartawan atau jurnalis yang ada di medan perang.
Wartawan Perang dari Indonesia
Tentang wartawan perang dari Indonesia ada beberapa orang yang pernah meliput langsung perang yang terjadi di kawasan Eropa, Asia dan Afrika. Dari daftar nama wartawan perang dari Indonesia, tidak bisa melupakan nama Raden Mas Panji Sosrokartono.
Sosrokartono adalah kakak dari Raden Ajeng Kartini lama bermukim di Eropa. Sejak 1897 dia sudah mengembara di Eropa, kuliah di Universitas Leiden, Belanda kemudian menjadi wartawan atau jurnalis. Pada Perang Dunia I Sosrokartono menjadi koresponden untuk koran The New York Herald yang terbit di Amerika Serikat. Dia meliput perang dengan mendapat pangkat militer Mayor dari pasukan sekutu.
Pada era berikutnya mengenal ada wartawan perang Hendro Subroto yang bekerja untuk TVRI meliput konfrontasi Malaysia – Indonesia di Serawak, Kalimantan. Kemudian meliput perang integrasi Timor Timur (sekarang Timor Leste), meliput konflik di Kamboja, dan Vietnam.
Sebelumnya, ada wartawan senior Mochtar Lubis yang meliput perang Korea tahun 1950. Pendiri koran Indonesia Raya itu meliput perang di semenanjung Korea atas undangan PBB. Liputan perang Korea tersebut ditulis Mochtar Lubis dalam buku berjudul “Catatan Perang Korea.”
Selain dari tiga nama tersebut, banyak wartawan perang dari Indonesia yang meliput perang di Irak, Iran dan kawasan Timur Tengah. Kisahnya akan lebih panjang jika dituliskan di sini.
Jika ingin mendapat gambaran situasi dan kondisi bagaimana seorang jurnalis bekerja di medan perang, bisa menonton beberapa film yang bertema wartawan. Salah satunya adalah film berjudul “A Private War.” Film ini diangkat dari kisah nyata Marie Colvin wartawati perang paling terkenal dan berani, melaporkan dari garis depan di medan perang untuk media The Sunday Times. Film ini berdasarkan artikel berjudul “Marie Colvin’s Private War” karya Marie Branner yang tayang pada 2012 di Fanity Fair. ©