Mengantar Buku Bajakan ke Penulisnya
Kedua, distribusi buku yang tak merata. Faktor ini berkaitan dengan dua hal. Yaitu sangat jauhnya pasar dan penerbit buku yang dibutuhkan dan terbatasnya persediaan buku tertentu di pasaran. Terbatasnya buku tertentu di pasaran mengakibatkan permintaan tak bisa cepat dipenuhi.
Peluang ini dibaca oleh penerbit gelap (pembajak) untuk sesegera mungkin membajaknya tanpa harus mengelluarkan biaya operasional yang tinggi, tanpa perlu memikirkan royalti, proses editing maupun promosi.
Ketiga, penghormatan terhadap intelectual right (hak cipta) masih rendah. Walau telah ada UU Hak Cipta untuk menutup peluang atas pelanggaran hak cipta dan pembajakan buku, ternyata belum belum efektif. Penegakan hukum UU yang terkait dengan hak cipta. Keempat kurangnya penegakan hukum yang serius, sehingga terkesan aparat penegak hukum kurang tegas dalam menindak pembajak buku. Maraknya pembajakan buku yang terus berlangsung, ini menandakan masih lemahnya penegakan hukum terhadap hak cipta di Indonesia.
Pembajakan buku merupakan praktek curang yang merugikan penulis dan penerbit buku yang tidak lagi mendapat perlakuan layak karena telah dirugikan hak ekonomi dan hak moralnya.
Masih ingat dengan buku berjudul “Membongkar Gurita Cikeas di Balik Kasus Bank Century” yang terbit tahun 2010. Buku yang ditulis George Junus Aditjondro laku keras, terutama buku bajakannya yang dijual dengan harga berkisar Rp20.000 – Rp40.000 pereksemplar. Akibat dari pembajakan buku tersebut penulis dan penerbit menderita kerugian sebesar Rp18 miliar.
Wajar jika penulis dan penerbit marah besar dengan mereka para pembajak buku. Seperti kemarahan novelis JS Khairen dan Tere Liye serta penulis lainnya. (maspril aries)