Agus Fatoni, Ekonomi Syariah dan Ekosistem Halal Value Chain
Halal Lifestyle
Lifestyle atau gaya hidup adalah perilaku yang nampak dari aktivitas seseorang. Pakar marketing Philip Kotler dalam “Marketing Management” (2006) menyebut bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas (activity), minat (interest) dan opininya (opinion).
Gaya hidup itu sendiri menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Kotler, P. & Keller, KL, 2006). Gaya hidup akan berpengaruh terhadap perilaku konsumen dalam membelanjakan dan mengalokasikan waktu dan uang yang dimiliki, dimana hal tersebut ditentukan dari faktor eksternal dan faktor internal konsumen.
Gaya hidup halal atau Halal Lifestyle menurut Muslim Judicial Council Halaal Trust (MJCHT) adalah tingkah laku seseorang yang dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki secara benar, jujur, berintegritas, berkeadilan, bermartabat, dan juga tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Seorang muslim dalam membeli barang konsumsi bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan atau mengikuti gaya hidup, tetapi mereka juga diwajibkan untuk taat pada ketentuan syariat sebagai konsekuensi dari keimanan mereka, salah satunya yaitu prinsip halal.
Mengutip Arna Asna Annisa dalam “Kopontren dan Ekosistem Halal Value Chain” (2019) secara bahasa, kata “halal” berasal dari bahasa Arab halla, yahillu, hillan, wahalalan yang mempunyai makna dibenarkan atau dibolehkan oleh hukum syarak, sebagai sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan oleh Allah SWT. Kebalikannya, yaitu haram berarti dilarang.
Menurut H Adinugraha & M Sartika dalam “Halal Lifestyle di Indonesia” (2019), halal tidak dimaknai sebagai pembatasan, melainkan untuk memperkenalkan ajaran Allah SWT dari sudut pandang syariah yang dinyatakan dalam Alquran dan hadis. Gaya hidup halal bisa dilakukan oleh setiap individu dengan memastikan kehalalannya mulai dari bahan baku, proses produksi, pengemasan, distribusi barang, penjualan retail, hingga produk siap dikonsumsi.
Gaya hidup halal (halal lifestyle) diperlukan oleh semua umat manusia tidak hanya untuk umat Islam, tulis Eko Putra Boediman dalam “Halal Lifestyle in Marketing Communication of Tourism and Hospitality”, (2017), karena konsep halal berlaku universal dan secara filosofis dan praktis adalah inovasi dari standar operasional prosedur (SOP) sejak empat belas abad yang lalu ada dalam syariah Islam.
Di dalam gaya hidup halal (halal lifestyle) terdapat unsur kesehatan, keselamatan dan keamanan, kemakmuran dan martabat manusia. Istilah gaya hidup halal (halal lifestyle) tidak dimaksudkan untuk pembatasan atau pemaksaan, melainkan untuk memperkenalkan kembali rahmatan lil’alalmin-nya ajaran Allah SWT dari sudut pandang syariah yang sudah dinyatakan dalam Alquran dan hadis.
Dalam mendorong berkembangnya ekonomi syariah, menurut Anne Charina dan Dinna Charisma dalam “Efektivitas Penerapan Ekosistem Halal Value Chain (HVC) pada Industri Makanan dan Minuman Halal di Indonesia” (2023), pemerintah sebagai motor penggerak perekonomian memiliki pengaruh sebagai penentu dalam menghidupkan ekosistem halal value chain dengan menerapkan nilai-nilai halal dalam aktivitas produksi, distribusi hingga aktivitas konsumsi baik berupa barang ataupun jasa. Selain itu, terdapat tujuh faktor yang penting bagi keberhasilan halal value chain, yaitu dukungan pemerintah, aset halal, teknologi informasi, manajemen sumber daya manusia, kemitraan kolaboratif, sertifikasi halal dan ketertelusuran halal. (maspril aries)