Film Genre Horor Kiblat Ramai di Medsos
“Meskiun demikian, film-film yang disebut horor, baik di masa 1970-an maupun tahun 2000-an menggunakan beberapa ciri dan ikonografi yang sama, misalnya hantu-hantu lokal Indonesia”, tulis Veronika.
Mengutip SR Rusdiarti dalam ”Film Horor Indonesia : Dinamika Genre” (2011), genre film memiliki dinamika yang terus menerus berkembang sesuai dengan kreativitas dari sineas dan keragaman penonton. Pada masa Orde Baru , film horor Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya menjadi suatu formula ampuh untuk membuat film-film horor di Indonesia yang digemari penontonnya
Kemudian tentang maraknya film-film horor di Indonesia, kritikus film Eric Sasono pernah menulis artikel berjudul “Krisis Perfilman Indonesia”. Artikel ini ia menyoroti kemalasan berpikir produser dan sineas Indonesia dalam proses kreatifnya. Melihat film horor diminati penonton, maka para produser dan sineas Indonesia kemudian saling latah membuat film horor juga.
Menurutnya, di Indonesia, karena pertimbangan ekonomi yang dominan (laba yang diraup dari pembuatan film tersebut), film-film horor di Indonesia tidak dibuat dengan sungguh-sungguh. Biaya yang murah, estetika yang kacau, jalan cerita yang tidak masuk akal menjadi buah dari rangkaian kemalasan tersebut yang pada akhirnya, hal itu akan menjatuhkan film Indonesia, khususnya genre horor ke dalam jurang pelecehan.
Kembali ke film Kiblat, di media sosial komentar yang muncul menyebutkan film ini adalah film horor berbau agama yang tidak mendidik, menistakan agama, dan hanya menakuti-nakuti orang sehingga takut untuk beribadah.
Film Kiblat menampilkan visual poster yang sangat menyeramkan. Seorang jamaah wanita yang tengah rukuk namun dengan wajah terbalik, serta seorang laki-laki dengan baju koko panjang yang tanpa kepala dan berlumuran darah. “Film ini akan membuat orang semakin takut beribadah”, kata Ustaz Hilmi Firdausi.
“Dengan segala hormat, kepada para produser film Indonesia, tolong hentikan membuat film horor seperti Kiblat ini,” ujar Ustaz Hilmi, dikutip Republika pada Senin (25/3/2024).
Dari ramai-ramai dan kontroversi film Kiblat, pesan yang perlu disampaikan kepada para produser dan film maker adalah seperti yang pernah disampaikan Salim Said dalam bukunya “Pantulan Layar Kaca” (1991), “Film yang baik adalah film yang di dalamnya ada cukup akal sehat. Pendeknya sebuah film yang baik itu adalah film yang tidak menyakitkan otak ketika kita menontonnya”. (maspril aries)