Singgah ke Rumah Dunia Tak Bersua Gol A Gong
KAKI BUKIT – Akhir Juli lalu berkesempatan berjalan ke Serang, menyebrang Selat Sunda menuju Cilegon. Selama berada di Cilegon meluangkan waktu senggang untuk mendatangi destinasi wisata yang ada di sekitarnya, salah satunya ada mendatangi Masjid Agung Banten di kawasan Banten Lama.
Usai salat zuhur di masjid yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati sekitar tahun 1552 – 1570 M, perjalanan dilanjutkan ke kota Serang, tapi kemana? Akhirnya, saya dan istri Aina Rumiyati Aziz memutuskan menuju ke Rumah Dunia yang didirikan Gol A Gong Duta Baca Indonesia. Perjalanan ditempuh dengan panduan peta digital karena belum pernah ke sana.
Kunjung ke Rumah Dunia di Serang, Provinsi Banten adalah bagian perjalanan dari bumi Andalas menyebrangi Selat Sunda. Alhamdulillah akhirnya sampai juga ke Rumah Dunia yang beralamat di Komplek Hegar Alam No. 40, Kampung Ciloang, Sumurpecung.
Untuk menjangkau Rumah Dunia sulit-sulit mudah. Setelah melintas di Jalan Jendral Sudirman berbelok ke kiri masuk ke Jalan Pusri. Jalan ini tidak jauh letaknya dari pintu tol Serang Timur.
Saat melintas jalan yang berukuran pas untuk dua mobil mini bus bersirobok, terbayang pabrik pupuk tertua di Indonesia bernama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) di Palembang. Di benak melintas, di sini ada kantor pemasaran PT Pusri. Ternyata dugaan itu salah, yang ada sebelum melewati rel kereta api ada gudang pupuk milik PT Pusri. Tiba di sebuah persimpangan sempat ragu, ke kiri atau ke kanan?
Kata pepatah “Malu bertanya sesat di jalan.” Agar tidak tersesat maka bertanya kepada seorang warga, jawabannya, “Terus saja ke sana sekitar 200 meter sebelah kanan tempatnya.” Akhirnya tiba di Rumah Dunia yang didirikan penulis novel “Balada si Roy”.
Kedatangan saya dan istri yang tiada rencana tersebut memang perjalanan yang spontan diputuskan dalam perjalanan sambil mengunyah tahu sumedang yang dibeli di sebuah warung di Kramat Watu. Memang untuk datang ke Rumah Dunia tidak sempat berkomunikasi dahulu dengan “Kang Gol A Gong” demikian saya memanggilnya. Jadi kedatangan kali ini tidak sempat bersua Gol A Gong.
Setiba di Rumah Dunia memang sedang ada kegiatan dari Kantor Bahasa Provinsi Banten. Walau tak bertemu Gol A Gong kedatangan hari itu bertemu dengan Abdul Salam HS yang menjabat Presiden Rumah Dunia, penyair Totok ST Radik yang tengah menjamu tamunya dari Kantor Bahasa Banten dan Tias Tanka istri Gol A Gong yang sedang mengajar anak-anak di pendopo Rumah Dunia.
“Kang Gol A Gong sedang ada di Malang menjalani tugas sebagai Duta Baca Indonesia. Rencananya hari ini dia kembali hari ini dan besok kembali terbang ke Tanjung Pinang Kepulauan Riau,” kata Abdul Salam.
Niat berkunjung ke Rumah Dunia memang bukan khusus untuk jumpa Gol A Gong melainkan untuk melihat rumah dunia dan segala aktivitasnya. Untuk jumpa Gol A Gong sebelumnya kami sudah bertemu saat pria kelahiran 15 Agustus 1963 berkunjung ke Palembang.
Di Rumah Dunia, Abdul Salam mengajak berkeliling melihat perpustakaan atau balai belajar bersama, ke Museum Gol A Gong yang tengah dalam penyelesaian pembangunannya dan melihat auditorium.
Museum Gol A Gong menurut Abdul Salam akan berisi berbagai buku dan berbagai memorabilia yang terkait dengan aktivitas Gol A Gong. Kehadiran museum ini mengingatkan pada Museum Kata Andre Hirata yang dibangun penulis novel “Laskar Pelangi” di Belitung. Kedua museum ini dijamin serupa tapi tak sama.
Dalam buku “Gempa Literasi dari Kampung Untuk Nusantara” Gol A Gong menulis, “Rumah Dunia, sejak semula didirikan, berkonsentrasi untuk mencerdaskan dan membentuk generasi muda yang kritis dan mandiri di Banten.”
Sejarah Rumah Dunia
Awalnya bernama “Pustakaloka Rumah Dunia” kerap disingkat PRD. Dalam perkembangannya kata “Pustakaloka” dihilangkan, maka kini dikenal dengan sebutan “Rumah Dunia”. Menurut Gol A Gong dalam buku “Gempa Literasi” pada awalnya, Rumah Dunia tidak ku niatkan sebagai Taman Bacaan Masyarakat (TBM) melainkan pusat belajar. Ada yang menyebutnya komunitas baca/ literasi, sanggar baca, dan perpustakaan.
“Jika disebut perpustakaan, aku menolak karena di Rumah Dunia itu adalah bagian di dalamnya. Tapi, apa pun jenisnya, bagiku yang terpenting adalah kegiatan dan manfaatnya,” tulis laki-laki bernama lengkap Heri Hendrayana Haris.