Jurnalisme Profetik antara Parni Hadi dan Hadi Prayogo (Bagian 1)
KAKI BUKIT – Seorang wartawan senior Hadi Prayogo dari Sumatera Selatan (Sumsel) sukses marih gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya berjudul “Manajemen Jurnalistik Profetik di Journalist Boarding School Cilegon, Provinsi Banten” di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan, Lampung akhir Juni 2023.
Disertasi Hadi Prayogo tersebut mengingatkan pada buku berjudul “Jurnalisme Profetik, Pergulatan, Teori, Aplikasi” yang ditulis wartawan senior Parni Hadi sekitar 10 tahun lalu. Parni Hadi menjadi orang pertama yang mempopulerkan iistilah jurnalisme profetik.
Dalam disertasinya menurut Hadi Prayogo yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi Harian Sriwijaya Post menjelaskan tentang maraknya media massa di era digital ini, ada ribuan jumlahnya.
Dari ribuan media massa tersebut didominasi media online. Media online dalam merekrut wartawan tanpa disertai pendidikan jurnalistik yang memadai. “Akibatnya, sering muncul berita hoaks, tidak berimbang, fitnah serta berita yang merugikan masyarakat. Ini terlihat dari banyak masyarakat yang mengadu ke Dewan Pers,” katanya.
Mengutip data Dewan Pers, menurut Hadi Prayogo, jumlah media massa di Indonesia terbanyak di dunia pada tahun 2018. Sedikitnya tercatat 47.000 media massa terdiri dari media cetak 2.000 perusahaan, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan 43.803 media online.
Jumlah wartawan tahun 2021 tercatat ada 200.000 orang wartawan. Dari jumlah tersebut yang sudah menjalani Uji Kompetensi Wartawan (UKW) baru 17.000 wartawan.
“Dewan Pers sejak 2010 memang mewajibkan seluruh wartawan di Indonesia mengikuti UKW untuk meningkatkan profesionalitas wartawan. Tapi karena keterbatasan waktu dan biaya, sampai sekarang baru 17.000 wartawan lulus mengikuti UKW yang diwujudkan dengan diberikan kartu dan sertifikat UKW,” ujar Hadi Prayogo.
Sementara jumlah kasus atau pengaduan yang masuk ke Dewan Pers pada 2022 sebanyak 665 kasus aduan masyarakat. Sebanyak 551 kasus (82,86 persen) sudah selesai penanganannya, sisanya 114 (17,141 persen) kasus pengaduan dalam proses penyelesaian.
Menurut Hadi Prayogo, secara umum pelanggaran kode etik yang dilakukan media adalah tidak melakukan uji informasi, tidak melakukan konfirmasi dan menghakimi, menyebar hoaks (kabar bohong), dan fake news (berita palsu).
“Kondisi itu sangat bertentangan dengan pers sendiri sebagai pemberi informasi dan penerang bagi masyarakat luas. Salah satu cara meningkatkan kualitas wartawan adalah dengan menjadikan mereka wartawan profetik atau wartawan yang mewarisi sifat dan karakter kenabian, salah satunya Sidiq atau benar, artinya wartawan dalam meliput berita harus selalu berdasarkan kebenaran,” katanya.
Hadi Prayogo menjelaskan, sifat atau karakter kenabian lainnya adalah, Tabligh atau menyampaikan artinya wartawan harus menyampaikan berita berdasarkan informasi yang diterimanya. Kemudian sifat Amanah yang maknanya wartawan dalam meliput berita harus bisa dipercaya. Kemudian sifat Fathonah yang artinya wartawan dalam meliput harus cerdas disertai dengan kearifan, paham akibat dari pemberitaan yang dibikinnya.
Sifat kenabian tersebut melekat pada Nabi Muhammad SAW yang memiliki karakter atau sifat STAF (Sidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah).
Menurut Hadi Prayogo wartawan yang memperoleh materi pelajaran dan dilatih dalam praktik menjadi wartawan profetik, diharapkan bisa meminimalisir fenomena di era disrupsi dunia pers sekarang ini, antara lain terjadinya hoaks, berita fitnah, fake dan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) lainnya.
“Wartawan harus memiliki jiwa humanisasi artinya tulisannya harus mengandung unsur mendidik, mendorong, terciptanya kesejahteraan, dan menjaga martabat masyarakat dan wartawan sendiri,” ujarnya.
Pada bagian lain disertasinya Hadi Prayogo juga menyampaikan gagasan dan sumbangan pemikiran. Diantaranya, liberasi bahwa tulisan seorang jurnalis atau wartawan harus sesuai fakta, berimbang, tidak berpihak, berbagai sudut pandang, objektif dan menciptakan perdamaian.
“Sedangkan transendensi tiap tulisan wartawan mengandung tanggungjawab kepada Allah SWT, konsekuan dan memandang bekerja adalah ibadah.,” pesannya.
Menurut Hadi Praoyogo yang pernah melakukan studi ke Missouri School of Juournalism di Amerika Serikat, menjadikan wartawan berkarakter profetik lalu melakukan misi sosial profetik bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab perusahaan pers tetapi juga organisasi pers dan Dewan Pers.
Hadi juga mengusulkan agar jurnalisme profetik menjadi salah satu mata uji Uji Kompetensi Wartawan (UKW). “Saya mengusulkan agar Dewan Pers dan organisasi pers seperti PWI, AJI, IJTI dan lainnya untuk memasukkan mata uji tentang jurnalistik profetik sebagai salah satu mata uji UKW,” katanya. (maspril aries)