Kejahatan Bibliocrime dan UU No. 43 Tahun 2007 (Bagian 2 Habis)
KAKI BUKIT – Dalam UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan pada Pasal 1 menyebutkan, “Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.”
Secara etimologis perpustakaan berasal dari kata “pustaka” yang berarti kitab atau buku. Istilah itu kemudian berkembang dan ditambahkan dengan kata awalan “per” dan akhiran “an” sehingga menjadi kata “perpustakaan” yang berarti kumpulan kitab atau kumpulan buku-buku.
Mengutip Sulistyo Basuki dalam “Pengantar Ilmu Perpustakaan,” 1991 perpustakaan dapat diartikan sebagai sebuah ruangan atau bangunan yang digunakan untuk menyimpan bahan pustaka atau bahan pustaka lainnya yang disusun berdasarkan klasifikasi untuk kebutuhan pengguna dan bukan untuk dijual.
Jadi perpustakaan adalah sebuah bangunan, gedung atau ruangan yang berisi karya-karya manusia baik karya tercetak maupun karya terekam yang kemudian disusun berdasarkan urutan tertentu dan digunakan oleh pemustaka.
Perpustakaan memiliki peran sangat penting bagi kehidupan dan kecerdasan bangsa, karena perpustakaan dapat menjadi perantara untuk mendapat informasi yang dibutuhkan.
Selama ini dikenal adanya pengelompokan perpustakaan dalam beberapa jenis, yaitu perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, perpustakaan khusus, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan sekolah, perpustakaan umum kabupaten/kota, perpustakaan desa, perpustakaan mobil keliling dan perpustakaan rumah ibadah.
Dalam UU UU No.43 Tahun 2007 juga menjelaskan definisi pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Kemudian dikenal istilah atau sebutan pemustaka, yaitu pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.
Tindak kejahatan bibliocrime dalam prakteknya lebih banyak terkait dengan pemustaka. Bibliocrime yang berpotensi dilakukan pemustaka dapat digolongkan menjadi empat, yaitu pencurian (theft), perobekan (mutilation), peminjaman tidak sah (unauthorized borrowing), dan vandalisme (vandalism).
Sampai ini tidak ada data yang menyebutkan tindakan pemustaka yang terkait dengan bibliocrime, yang pasti bibliocrime sangat berbahaya karena akan berdampak buruk bagi perpustakaan, antara lain seperti terhalangnya transfer informasi dan ilmu pengetahuan serta kemajuannya, biaya preservasi bahan pustaka yang meningkat, mengurangi bahkan menghilangkan keindahan koleksi, berdampak sosial pada lingkungan dan diri objek misalnya menularnya kebiasaan melakukan tindakan bibliocrime kepada orang lain, dan lain sebagainya.
Menurut Adrimon Tustiver dan Malta Nelisa dalam “Faktor Peminjaman Tidak Sah (Unauthorized Borrowing) Bahan Pustaka Oleh Pemustaka di Kantor Arsip Perpustakaan dan Dokumentasi Kota Padang (2013), bibliocrime juga mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi perpustakaan. Kerugian tersebut berupa kerugian secara sosial dan kerugian secara finansial.
Kerugian sosial adalah kerugian yang dialami oleh perpustakaan dan pemustaka. Karena adanya koleksi yang rusak antara lain adalah berkurangnya kepercayaan atau dapat memberikan suatu citra (image) yang kurang baik terhadap perpustakaan sebagai gudang informasi.
Kerugian finansial adalah kerugian yang dirasakan oleh perpustakaan dalam hal dana yang harus dikeluarkan untuk mengganti koleksi yang rusak, memperbaiki kerugian kertas dan menjaga kualitas bahan pustaka.