Home > Literasi

Wartawan Mencuri Kata-Kata untuk Sebuah Lomba Jurnalistik

Plagiat oleh seorang jurnalis adalah pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Pembukaan Lomba Karya Jurnalistik yang diselenggarakan SKK Migas Sumbagsel. (FOTO : Maspril Aries)

KAKI BUKITPada Juni dan Juli 2022 lalu ada sebuah lomba bertajuk “Lomba Esai/ Jurnalistik” dengan tema mengusung tentang perlindungan satwa langka di Sumatera. Karena ini lomba karya tulis dengan format esai, maka naskah yang diikutisertakan adalah tulisan esai yang sebelumnya sudah tayang di media massa online, karena ini juga termasuk salah satu persyaratannya.

Setelah pengumumannya sempat tertunda beberapa hari akhirnya diumumkanlah para pemenangnya. Setelah membaca karya pemenang tersebut muncul pertanyaan dan keraguan, tulisan yang menang tidak masuk kategori esai atau essay melainkan karya jurnalistik kategori feature.

Apakah ini terjadi karena tidak paham dan tidak mengertinya juri sehingga tidak bisa membedakan mana karya tulis esai dan mana karya jurnalistik feature. Untuk membenarkan keputusannya dewan juri maka yang harus diambil adalah pemenang tersebut adalah tulisan termasuk kategori esai, padahal jelas tulisan tersebut termasuk kategori feature. Juri dan panitia pun berlindung di balik tameng “Keputusan Dewan Juri Mutlak Tidak Bisa Diganggu Gugat.”

Tapi kali ini bukan tentang lomba bagi jurnalis yang terjadi pada Juni dan Juli tersebut, melainkan pada sebuah lomba karya jurnalistik yang baru saja usai pengumumannya pada pertengahan Juli 2022 dan diselenggarakan oleh sebuah institusi yang sangat kredibel.

Bermula dari informasi seorang teman yang menyampaikan bahwa dalam karya tulis dari pemenangnya ada aroma atau unsur plagiat atau copy paste yang seharusnya diharamkan seorang wartawan atau jurnalis. Tapi yang terjadi sepertinya tiada ada rasa bersalah atau berdosa atau melanggar dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang harus jadi pedoman moralnya dalam menjalankan profesi seorang jurnalis.

Jika dalam dunia akademik, plagiarisme adalah sebuah dosa besar. Bagaimana jika praktek ini terjadi di dunia pers atau di kalangan komunitas jurnalis? Tetap dianggap sebagai dosa atau bukan dosa besar. Atau hanya hal biasa karena plagiarisme sudah tumbuh subur dan menjadi kebiasaan sehari-hari? Padahal dalam Kode Etik Jurnalistik pada Pasal 2 menyebutkan, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Penafsiran dari “cara-cara yang profesional” pada huruf g tertulis, “Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.” Merujuk pasal tersebut jelas bahwa plagiat juga adalah pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik.

Setelah diskusi melewati lintas batas daerah melalui daring dengan wartawan utama Yurnaldi yang juga kerap menjadi juri lomba karya tulis di Sumatera Barat (Sumbar) dan penulis buku berjudul “Wartawan & Penulis Diperhitungkan: Menang dalam Kompetisi” menurutnya, sudah pasti karya yang plagiat diskualifikasi.

“Plagiat dengan diksi yang sama itu sudah bukan pikiran sendiri. Kecuali gagasannya diambil dan diolah dengan bahasa sendiri, dengan sebutkan sumber masih bijak dibanding menyalin copy paste karya orang lain,” kata wartawan senior yang pernah bergabung dengan Harian Kompas.

Apa yang terjadi tersebut menurutnya, karena juri lalai maka peserta lainnya bisa menyampaikan protes dengan menunjukkan bukti-bukti. “Juri lalai biasa, tapi ketika ditemui sesuatu yang terlarang atau plagiat, juri harus segera bertindak dan membatalkan naskah tersebut sebagai pemenang. Juri berpengalaman pasti punya cara kontrol untuk cek karya peserta, apa ada unsur plagiat,” kata Yurnaldi yang pernah bertugas di Sumatera Selatan (Sumsel).

Sementara saat diskusi daring dengan penulis novel Benny Arnas yang bermukim di Lubuklinggau menjelaskan, setiap dirinya menjadi lomba karya tulis apakah fiksi atau non fiksi, “Aku minta panitia memberi kami juri naskah-naskah yang sudah disisir, termasuk beres plagiarisme. Jadi, yang sampai ke juri ya naskah yang sudah beres,” katanya.

Menurut pengarang atau novelis yang sudah menulis lebih 27 buku, 200 cerpen dan 200 esai, jika memang ditemukan adanya unsur plagiat dalam naskah pemenang lomba maka dewan juri dapat mengambil keputusan membatalkan kemenangannya.

Sanksi bagi seorang wartawan yang melakukan plagiat, masukan karya orang lain dalam naskahnya dan mengakui sebagai karya sendiri tanpa menyebut atau menuliskan sumber tulisan tersebut, dewan juri dapat menerapkan sanksi membatalkan kemenangannya dan menghukumnya dengan melarang mengikuti lomba karya jurnalistik periode selanjutnya.

× Image