Dari Muba, Mubar, Busel sampai Pulau Morotai
KAKI BUKIT – Gerbong pergantian kepala daerah, yakni bupati dan wali kota pada beberapa daerah di Indonesia mulai bergerak. Ada 18 wali kota dan 76 bupati akan mengakhiri jabatannya tahun 2022. Pada Ahad (22/5) sejumlah bupati dan wali kota yang berakhir masa jabatannya mulai diganti oleh Penjabat (Pj) bupati dan wali kota setelah sebelumnya mereka ditetapkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Pelantikan para penjabat kepala daerah tersebut dilakukan Gubernur masing-masing provinsi atas nama Mendagri. Diantaranya, Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Olly Dondokambey melantik dua penjabat bupati yaitu Pk Bupati Kepulauan Sangihe dan Pj Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) pada Ahad (22/5) di Manado.
Pada hari yang sama Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran melantik dan mengambil sumpah janji Pj Bupati Barito Selatan dan Pj Bupati Kotawaringin Barat. Kemudian Gubernur Lampung Arinal Djunaidi melantik dan mengambil sumpah jabatan tiga pejabat tinggi pratama Provinsi Lampung sebagai Pj Bupati Pringsewu, Pj Bupati Mesuji, dan Pj Bupati Tulang Bawang Barat.
Di Jambi Gubernur Al Haris secara resmi melantik tiga orang Penjabat Bupati yaitu Pj Bupati Tebo, Pj Bupati Sarolangun dan Pj Bupati Muaro Jambi. Di Pekanbaru Gubernur Riau pada Senin (23/5) melantik Penjabat Wali Kota Pekanbaru dan Pj Bupati Kabupaten Kampar.
Walau banyak Gubernur di Indonesia melaksanakan tugas melantik para Penjabat Bupati dan Wali Kota tersebut. Ada Juga Gubernur yang tidak atau menolak melakukan pelantikan para Penjabat Bupati dan Wali Kota yang surat keputusan penetapan dan pengangkatannya telah ditandatangani Mendagri Tito Karnavian.
Sedikitnya ada tiga gubernur yang tidak melaksanakan pelantikan, yaitu Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi yang tidak melakukan pelantikan pada dua penjabat kepala daerah di daerahnya pada Ahad (22/5) atau Senin (23/5).
Media pun ramai-ramai media menulis berita dengan isi yang sama bahwa Gubernur Sultra tolak lantik penjabat bupati. Di Sultra ada tiga Penjabat Bupati yang sudah terbit SK Mendagri, yaitu Pj Bupati Buteng (Buton Tengah), Pj Bupati Mubar (Muna Barat) dan Pj Pj Bupati Busel (Buton Selatan). Pada Senin (23/5) di Kendari Gubernur Sultra hanya melantik Muhammad Yusuf sebagai Pj Bupati Buteng. Dua lainnya tidak dilantik.
Penolakan atau penundaan pelantikan atau apapun namanya terhadap para penjabat kepala daerah tersebut juga terjadi di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba juga belum melantik Penjabat Bupati Pulau Morotai yang ditetapkan Mendagri. Demikian pula Gubernur Sumsel Herman Deru belum melantik Apriyadi sebagai Pj Bupati Muba (Musi Banyuasin).
Belum dilantiknya pada penjabat kepala daerah yang telah ditetapkan Mendagri tersebut dengan berbagai alasan. Gubernur Sultra Ali Mazi memutuskan tidak melantik dua penjabat bupati di wilayah tersebut pada Senin (23/5), Ali Mazi menyatakan menunggu penjelasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait keputusan penetapan penjabat bupati di Buton Selatan dan Muna Barat.
Mendagri Tito Karnavian menurut Kastorius Sinaga Staf Khusus Mendagri Bidang Politik dan Media, sudah menjelaskan mekanisme penunjukan Pj bupati dan Gubernur Sultra Ali Mazi sudah memahami dengan baik. Gubernur Ali Mazi dijadwalkan akan melantik dua penjabat bupati, Bupati Muna Barat (Mubar) dan Pj Bupati Buton Selatan (Busel), Selasa, 24 Mei 2002. Apakah Ali Mazi tetap akan melantik Pj Bupati Mubar dan Pj Bupati Busel? Jawabannya, masih menanti kabar kepastiannya.
Dari Sofifi, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba juga belum melantik penjabat bupati Pulau Morotai. Sebelumnya beredar kabar Abdul Gani pernah mengancam tidak akan melantikan penjabat di luar tiga nama yang dia usulkan.
Di Sumsel Gubernur Herman Deru sampai Senin (23/5) juga belum melantik Apriyadi yang ditetapkan Mendagri sebagai Penjabat Bupati Musi Banyuasin. Justru Herman Deru mengambil kebijakan pada Ahad menjelang tengah malam menyerahkan Surat Keputusan Gubernur Sumsel kepada Sekretaris Daerah Muba Apriyadi menjalankan tugas sebagai Pelaksana harian (Plh) Bupati Muba.
Penolakan atau penundaan dilakukan tiga gubernur tidak melantik Penjabat Bupati yang ditetapkan Mendagri semoga ini bukan pembangkangan terhadap Mendagri (pemerintah pusat). Para gubernur itu sendiri adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Tentu ada multitafsir, jawaban dan argumentasi atas sikap menunda atau menolak melantik para penjabat kepala daerah tersebut.
UU Nomor 10 Tahun 2016
Mekanisme pengisian kekosongan Kepala Daerah akibat Pilkada serentak 2024 merujuk pada Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.”
Kemudian pada Pasal 201 ayat (10) menyebutkan bahwa: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Adapun yang dimaksud jabatan pimpinan tinggi madya ini merujuk pada Pasal 19 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Pasal 201 ayat (11) berbunyi: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Penetapan mengenai penjabat ini ditetapkan oleh Presiden untuk penjabat Gubernur dan penjabat Bupati/Walikota ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Merujuk pada pasal 54D ayat (4) menyebutkan bahwa Penjabat Kepala Daerah yang dalam hal ini adalah penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota. Penjabat merupakan pihak yang diberikan tugas oleh Pemerintah ketika belum ada pasangan calon terpilih dari hasil pemilihan.
Pengisian jabatan berdasarkan Pasal 201 tersebut adalah mengisi kekosongan jabatan kepala daerah akibat ditunda hingga adanya Pilkada Serentak Nasional 2024. Pengisian penjabat kepala daerah ini jelas sangat berbeda dengan sistem pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dalam UU Pilkada yang diakibatkan masih memiliki sisa masa jabatan (bukan berakhir masa jabatan) diatur secara ketat dalam Pasal 173, Pasal 174, dan Pasal 176 UU Pilkada. Jadi jelas bahwa ketentuan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada dan Pasal 176 UU Pilkada merupakan pengaturan dua hal yang berbeda sehingga wajar apabila diatur secara berbeda.
Untuk rekrutmen penjabat kepala daerah dilakukan melalui proses Gubernur mengusulkan Penjabat Bupati/Walikota kepada Menteri Dalam Negeri untuk ditetapkan, atau Menteri Dalam Negeri mengusulkan Penjabat Gubernur Kepada Presiden untuk ditetapkan. Kementerian Dalam Negeri adalah organ sentral dalam pengisian Penjabat untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala Daerah.
Sebagaimana diketahui bahwa pengangkatan Penjabat Gubernur merupakan kewenangan Presiden dengan usulan Menteri Dalam Negeri dan pengangkatan Penjabat Bupati/Walikota merupakan kewenangan Menteri Dalam Negeri dengan usulan Gubernur, maka dalam menjalankan tugasnya, seorang penjabat kepala daerah harus tetap mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku.
Dalam kasus terjadi di Sumsel, Sultra dan Maluku Utara jelas bahwa Gubernur hanya sebatas mengusulkan. Jadi penolakan seharusnya tidak terjadi terhadap penjabat kepala daerah yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri. Mengutip penjelasan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan, bahwa setiap usulan gubernur tidak mutlak diakomodasi, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan. Usulan yang disampaikan itu masih dikaji Kementerian Dalam Negeri kemudian diputuskan oleh tim penilai akhir (TPA) yang dibentuk Presiden.
TPA terdiri dari, Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, Badan Kepegawaian Negara, serta Badan Intelijen Negara. Tim inilah yang bekerja menentukan siapa dan bagaimana rekam jejak setiap calon Penjabat sebelum akhirnya diputuskan. Jadi secara otoritas, Presiden berwenang menunjuk langsung Penjabat Gubernur, dan Menteri Dalam Negeri untuk Penjabat setingkat Bupati/Wali Kota.
Penjabat Kepala Daerah
Menurut Firdaus Arifin dan Fabian Riza Kurnia dalam “Penjabat Kepala Daerah” (2019), penjabat tersebut adalah seorang yang diberi kewenangan untuk sementara menduduki suatu jabatan dimana jabatan tersebut tidak diduduki oleh seorangpun dengan kata lain kosong. Penjabat kepala daerah walaupun bersifat sementara, pada dasarnya merupakan pengganti dari kepala daerah sehingga membuatnya memiliki kewenangan yang sama dengan kewenangan yang melekat pada kepala daerah definitif.
Penjabat kepala daerah merupakan ranah jabatan sipil yang diperoleh dari hasil proses administrasi dan hanya menerima mandat pejabat pemerintahan di atasnya serta bukanlah kepala daerah definitif yang dipilih rakyat melalui pemilihan kepala daerah.
Pengisian jabatan negara (staatsorganen, staatsambten) mengutip Ni’matul Huda dalam Hukum Tata Negara Indonesia (2010), merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara. Tanpa diisi dengan pejabat (ambtsdrager), fungsi-fungsi jabatan negara tidak mungkin jalankan sebagaimana mestinya.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota mengatur kedudukan dan kewenangan Penjabat Kepala daerah yang dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 menjelaskan mengenai Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota adalah pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Penjabat Gubernur dan pejabat yang ditetapkan oleh Menteri untuk Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam kurun waktu tertentu. Melalui ketentuan tersebut terihat bahwa kewenangan Penjabat kepala daerah tidak hanya sekedar mengisi kekosongan jabatan, namun lebih luas, karena juga melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban gubernur, bupati, dan walikota walaupun hanya dalam kurun waktu tertentu
Jadi keberadaan penjabat kepala daerah dimaksudkan adalah untuk memperlancar roda pemerintahan sementara waktu yang merupakan pejabat publik sementara yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai pejabat sementara dikenal adanya sebutan Pejabat sementara (Pjs), Pejabat pelaksana harian (Plh), Pejabat yang melaksanakan tugas (PYMT), Pejabat Ad Interim atau sebutan lain yang mempunyai fungsi sejenis.
Dalam lingkup pemerintahan kerap dikenal adanya istilah atau sebutan “Plt, Pjs, Pj, dan Plh.” Istilah Plt merupakan singkatan dari Pelaksana Tugas. Misalnya, Plt Kepala Daerah yang dijabat wakil kepala daerah (wakil gubernur, wakil bupati atau wakil walikota). Pengisian ini dilakukan ketika kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota) sedang berhalangan sementara. Dasar hukum terkait Plt adalah Pasal 65 dan 66 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Kemudian istilah Pjs merupakan singkatan dari Pejabat Sementara. Misalnya, Pjs Kepala Daerah. Pjs dijabat oleh ASN. Pjs Gubernur diisi ASN dengan posisi sebagai pejabat tinggi madya atau setara eselon I. Sementara Pjs Bupati/ Walikota diisi PNS dengan posisi pejabat tinggi pratama atau setara eselon II. Pengisian dilakukan ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah mencalonkan lagi di pilkada dan harus cuti di luar tanggungan negara.
Pjs diatur dalam turunan dari Pasal 70, UU 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
Permendagri 74/2016 mengatu bahwa Pjs berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Provinsi. Kini, Pjs disebutkan dari pejabat pimpinan tinggi madya/ setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemda provinsi.
Kemudian istilah Pj merupakan singkatan dari Penjabat. Misalnya, Pj Kepala Daerah. Pj dijabat oleh pegawai negeri sipil (PNS). Untuk Pj Gubernur diisi PNS dengan posisi sebagai pejabat tinggi madya atau setara eselon I. Sementara Pjs bupati/walikota diisi PNS dengan posos pejabat tinggi pratama atau setara eselon II. Pengisian ini dilakukan ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah telah habis masa jabatannya. Pj akan menjabat sampai kepala daerah definitif dilantik. Terkait istilah Pj, diatur dalam Pasal 201, UU 10 Tahun 2016. Ketika akhir masa jabatan selesai, ditambah kepala daerah itu tidak cuti kampanye, maka sampai dilantik kepala daerah baru, posisinya diisi oleh pejabat tinggi madya.
Sedangkan istilah Plh merupakan singkatan dari Pelaksana harian. Jabatan Plh diisi oleh sekretaris daerah (sekda), kalau masa jabatan kepala daerah kurang dari satu bulan. (maspril aries)