Polri Tuntaskan 15.039 Perkara dengan Restorative Justice Mau Tahu Apa Restorative Justice?
KAKI BUKIT – Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengungkapkan sepanjang 2021 hingga Maret 2022, Polri menyelesaikan 15.039 perkara dengan restorative justice. “Jumlah ini meningkat 28,3 persen dari tahun sebelumnya sebesar 9.199 kasus," katanya pada talkshow bertema “Restorative Justice Harapan Baru Pencarian Keadilan,” Selasa, 19 April 2022.
Kabareskrim Agus Andrianto menjelaskan, restorative justice saat ini menjadi prioritas kepolisian dalam melakukan penyelesaian perkara. “Sebab itu merupakan prinsip utama dalam keadilan restoratif, yakni penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat,” katanya.
Selain itu Kapolri menurut mantan Kapolda Sumatera Utara (Sumut) menekankan kepada penyidik harus memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium). “Polri harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat,” ujarnya.
Perwira tinggi bintang tiga itu juga mengingatkan bahwa tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Dalam pasal 5 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021, mengatur kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui restorative justice harus memenuhi persyaratan materiil.
Pasal 5 menyebutkan persyaratan materiil yang diatur dalam dalam Pasal 4 huruf a, meliputi: a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat; b. tidak berdampak konflik sosial; c. tidak berpotensi memecah belah bangsa; d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme; e. bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan f. bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana terhadap nyawa orang
Selain Polri, Kejaksaan Republik Indonesia menerbitkan produk hukum berupa Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun. 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif disingkat Perja No.15 tahun 2020.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR pada 23 Maret 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana menyampaikan sebanyak 823 perkara tindak pidana umum telah diselesaikan penuntutannya dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Sebelum terbitnya Peraturan Kapolri dan Peraturan Kejaksaan RI, telah ada undang-undang yang mengadopsi konsep restorative justice yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA).
Wacana restorative justice menurut beberapa ahli hukum adalah jawaban atas kegagalan dan hancurnya sistem pemidanaan yang ada pada saat ini, dimana sistem tersebut sudah tidak efektif dalam menekan tingginya angka kriminalitas yang berujung pada over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Konsep peradilan pidana konvensional yang hanya berfokus pada pemidanaan dan penghukuman pelaku kejahatan belum menyentuh kepentingan korban dan/atau masyarakat yang dirugikan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Dapat dikatakan, latar belakang pemikiran yang melandasi konsep restorative justice di Indonesia adalah sistem pemidanaan yang seakan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana. Ini berimbas pada semakin padatnya jumlah penghuni LP lalu sehingga memicu terjadinya tindak pidana di dalam lingkungan LP.
Lantas apakah semua kita sudah tahu dan mengerti apa itu restorative justice?
Pertama kali istilah restorative justice dikenal di Amerika Serikat (AS) saat adanya penyelesaian perkara pidana oleh Bernatt tahun 1977 dalam penyelesaian perkara pidana dalam bentuk mediasi antar pihak korban dan pelaku, serta melibatkan masyarakat dalam kasus pidana.
Lalu dalam pedoman Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitkan badan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) menyebutkan bahwa “Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community.” Restorative justice itu suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Di Indonesia restorative justice yang diartikan keadilan restoratif atau keadilan berbasis musyawarah dalam pranata hukum Indonesia dijumpai pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA pada Pasal 1 menyebutkan “Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, restorative justice memiliki prinsip antara lain, “Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakatmenyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban,dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”. Semangat restorative justice adalah memiliki tujuan untuk melindungi dan memulihkan kondisi korban serta memperbaiki keadaan pelaku.
Keadilan restoratif atau restorative justice tidak semata-mata menerapkan putusan tentang menang dan kalah dalam sistem peradilan pidana yang bersifat permusuhan/perlawanan (adversarial system). Proses keadilan restoratif mencari suatu fasilitas dialog antara semua pihak yang terdampak oleh kejahatan. termasuk korban, pelaku, para pendukungnya, dan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam ranah hukum ada banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep restorative justice. Diantaranya, communitarian justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif), dan community justice (keadilan masyarakat).
Ada satu catatan yang patut jadi perhatian, bahwa penerapan prinsip restorative justice dalam suatu negara tergantung pada sistem hukum apa yang dianut oleh negara tersebut? Jika dalam sistem hukum itu tidak menghendaki, maka tidak bisa dipaksakan penerapan restorative justice tersebut. Dapat disimpulkan bahwa prinsip restorative justice merupakan pilihan dalam mendesain sistem hukum suatu negara.
Eva Achjani Zulfa dalam “Pergeseran Paradigma Pemidanaan” (2011) menyebutkan, banyak variasi bentuk pendekatan yang digunakan dalam penerapan restorative justice. Secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga bentuk utama. Pertama, Victim offender mediation adalah salah satu bentuk pendekatan restoratif, di mana dibuat suatu forum yang mendorong pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
Kedua, Conferencing atau family group conferencing yaitu bentuk penerapan pendekatan restorative justice yang dikembangkan di New Zealand, dan merupakan reaksi dari proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional yang ada di suku Maori, penduduk asli bangsa Negara tersebut. Bentuk ini kemudian diadopsi oleh banyak negara seperti Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa. Dalam bentuk ini penyelesaian perkara bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban secara tidak langsung (secondary victim) seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku.
Ketiga, Circles adalah bentuk penerapan restorative justice yang diadopsi dari Kanada, di mana para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terlibat termasuk di dalamnya penegak hukum. Dalam model ini, setiap anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi.
Mengutip Eddy O.S. Hiariej dalam “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,” (2015), “Dalam konteks hukum pidana Indonesia, konsep restorative justice atau keadilan restoratif juga sudah dikenal, khususnya dalam pranata delik adat (hukum pidana dan perdata adat).” Pendekatan dalam keadilan restoratif adalah pendekatan yang sering kali digunakan dalam pranata hukum adat di Indonesia.
Dalam kasus hukum pidana penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui restorative justice menjadi dimensi yang baru yang harapannya akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan sejati. Sudah saatnya konsep restorative justice menjadi pertimbangan dalam sistem pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Juga diakomodir dalam Rancangan Undang-Undang KUHP demi terciptanya keadilan dan keseimbangan perlakuan hukum baik bagi pelaku maupun korban tindak pidana dapat tercapai dengan baik tanpa harus menggunakan sanksi pidana sebagai penyelesaian akhirnya.
Efek jera sebagai tujuan akhir pemidanaan pelaku tindak pidana sudah tidak lagi relevan. Ranah hukum Indonesia butuh terobosan dalam pelaksanaan sistem pemidanaan di Indonesia. Persoalan pidana tidak hanya mengenai penjatuhan pidana semata, tetapi juga berbicara implementasi restorative justice.
Sebagai realisasi menerapkan restorative justice di beberapa daerah di Indonesia kini telah berdiri “Rumah Restorative Justice” atau Rumah RJ. Salah satunya di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) telah berdiri Rumah RJ yang diberi nama Balai Perdamaian Restorative Justice yang berlokasi di Balai Adat Kelurahan Tuatunu Indah. (maspril aries)