Anak-Anak Ranah Minang Berliterasi di Alam Terbuka
Catatan Yurnaldi
KAKI BUKIT – Ada filosofi atau pepatah dari Minangkabau yang sangat terkenal, yaitu “Alam takambang jadi guru.” Dalam arti yang sederhana pepatah itu bisa diartikan alam terkembang dijadikan guru. Dalam pengertian yang luas bahwa alam sekitar yang dijadikan sumber belajar bermakna jauh lebih luas dan lebih bervariasi jika dibandingkan “guru” di sekolah sebagai sumber belajar.
Ada makna literasi dalam filosofi tersebut. Pada masa pandemi terkurung di rumah bisa membosankan. Beranjak dari filosofi tersebut maka kembali ke alam saat ini adalah sangat menyenangkan. Bagi yang kreatif, tentu banyak cara untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu itu tak mesti uang, tetapi pengalaman dan kebersamaan, mungkin itu lebih berarti.
Dalam situasi pandemi salah satu protokol kesehatan harus dipatuhi, yaitu menghindari keramaian. Pada kesempatan hari libur nasional Isra Miraj lalu , saya bersama istri Rozalina Busro, yang suka “raun paniang” atau istilah kerennya traveling atau jalan-jalan, setiap hari ilibur. Kami “raun paniang” naik sepeda motor saja karena lebih asyik dan tak teralu repot, maklum kami jika melihat sesuatu yang menarik dan baru, pasti berhenti sejenak menikmati dan minimal memotretnya. Lantas kemudian kami berbagi informasi dan foto di media sosial.
Saat libur yang lalu, saya sempatkan mengunjungi tiga lokasi yang di mata orang awam mungkin sesuatu yang biasa-biasa saja. Lokasi pertama adalah kawasan Rusunawa di Pasia Jambak, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang.
Lewat jalan tepi pantai, kami menikmati kesejukan aroma laut. Dari atas jembatan, melihat potensi yang ada, di mana ada rawa nipah yang dibelah sungai, tidak saja menarik secara fotografis, tetapi bagi yang kreatif bisa menyulap kawasan ini menjadi kawasan wisata air dengan menggunakan rakit bambu, atau perahu motor, atau bisa juga kereta air. Kalau ada kedai terapung atau kerennya kafe terapung, dengan menu khas tentu menjadi daya tarik pula. Jalur sungai dengan hutan nipah di kiri-kanan sungai itu panjangnya ada sekira satu kilometer hingga mencapai Muaro Batang Anai, yang sering dijadikan arena memancing ikan.
Kota Padang walau dikenal sebagai kota banyak sungai dan pantai yang relatif panjang, namun hingga kini tak ada yang memanfaatkannya untuk wisata air. Ada pantai hanya untuk dipandang saja atau menikmati mentari tenggelam. Tak ada kapal motor yang bisa membawa penumpang/wisatawan untuk menyusuri pantai.
Begitu juga sungai. Ada beberapa sungai yang bisa disusuri dengan perahu motor, tapi tak pernah ada dimanfaatkan untuk wisatawan. Sehingga sahabat saya dosen dan peneliti di Belanda, berkali-kali dalam diskusi menyarankan agar sungai dimanfaatkan seperti di negeri kincir angin itu. Semoga ada pengusaha atau masyarakat yang serius memanfaatkan potensi sungai untuk pariwisata.
Di kawasan hutan (rawa) nipah ini, kita juga bisa menyaksikan kawanan monyet yang menunggu dikasih makan oleh pengunjung. Juga bisa menyaksikan biawak yang hidup di kawasan sungai dan hutan nipah itu. Bagi yang belum tahu buah nipah dan bagaimana mengolahnya untuk kolak, maka literasi soal itu bisa dijelaskan masyarakat. Mungkin juga bagaimana mengolah pucuk nipah untuk pembalut rokok tradisional, mengolah daun nipah untuk atap, dan pelepah nipah untuk tirai di beranda atau jendela rumah halangi tempias hujan.
Seandainya ada foto foto flora dan fauna yang hidup di kawasan hutan/rawa nipah dan diberi penjelasan/pengetahuan tentang itu, jelas ini literasi faktual yang amat beguna bagi siapa saja. Kalau ada sponsor mungkin saya bisa garap soal flora dan fauna, difoto dan dibukukan.
Sungai Jernik Bukit Batang Anai
Usai menikmati kawasan ini, saya melanjutkan perjalanan ke kawasan perbukitan di Batang Anai, di Kabupaten Padang Pariaman. Saya sudah beberapa kali ke sini, tetapi tetap saja tak membosankan. Mungkin belum banyak yang tahu, bahwa di kawasan yang areal persawahannya luas ini, masyarakatnya sebagian besar membuat karupuak jariang (kerupuk jengkol).
Kerupuk jengkol sudah menjadi industri rumah tangga. Di tangan perajin di sini, kerupuk jengkol menjadi kerupuk yang paling enak dan kesukaan masyarakat Sumatera Barat, termasuk perantau Minang di berbagai kota.
Dari ketinggian bukit, kita bisa memandangi lautan Samudera Hindia dan kawasan dataran Kota Padang. Pikiran liar saya adalah, bagaimana pengusaha membuat tower untuk selfie, memotret dari ketinggian. Lokasi yang bagus bisa dijajaki. Saya teringat, kalau di Kota Batam, ada masjid yang dibangun urang awak yang menara masjidnya bisa dinaiki pengunjung/ wisatawan untuk melihat Batam dari ketinggian. Apalagi kalau di kawasan tower ada fasilitas bermain/hiburan lain, pasti menarik.
Di kawasan ketinggian Batang Anai ini adalah kolam renang. Juga ada sungai yang airnya jernih, karena berasal dari perbukitan. Dari kasat mata, airnya mungkin layak langsung diminum. Akan tetapi, perlu ada penelitian kandungan airnya, apakah kadar basanya lebih tinggi atau kadar asamnya tinggi, atau netral mengandung hidrogen dan oksigen saja seperti air mineral yang dijual dalam kemasan botol.
Bagi saya dan istri, Rozalina, lokasi ketinggian yang berhawa sejuk, berembun, dan ada sungai jernih mengalir, adalah karunia yang luar biasa. Mandi di sungai adalah bentuk relaksasi yang bikin sehat badan dan sehat pikiran. Pada musim tertentu, kita bisa menikmati manggis dan buah durian. Betapa asyik dan menarik.
Air Terjun Batu Malanca
Usai menikmatinya, kami melanjutkan raun paniang menyusuri tepi bukit. Areal persawahan dan perladangan juga terbentang luas. Masyarakat di sini menanam mentimun, sayur-sayuran, dan juga bingkuang. Areal perbukitan yang menghutan terjaga dengan baik.
Perjalanan kami terhenti di Korong Tanjuang, Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, ketika melihat sekelompok anak-anak lelaki tengah mencuci sayuran kangkung yang usai dicabut, untuk dijual. Karena segar, kami beli sayurnya. Bahkan ketika ada buah pepaya, kami minta yang mudanya, pun dikasih warga.
Korong Tanjung walau berbatasan dengan Kota Padang, tapi suasananya seperti perkampungan yang subur, tenang, dan hijau. Rupanya, aliran air tempat anak-anak mencuci itu berasal dari air terjun yang tak jauh dari situ, berjarak sekira 200 meter.
Usai mereka mencuci sayuran, anak-anak yang masih di bangku SD dan SMP itu saya ajak berliterasi di alam terbuka. Saya potret beberapa jenis bungga liar yang bentuknya bagus, lalu saya tunjukkan. Mereka kaget, bunga yang selama ini tidak mereka perhatikan, setelah diperlihatkan bahwa ini bagus untuk menggugah literasi, mereka akhirnya tertarik.
Literasi adalah kemampuan membaca lingkungan, membaca alam, dan bagaimana bisa menuliskannya, menginformasikan kepada siapa pun sehingga bisa menjadi pengetahuan. Mungkin juga menjadi sumber ekonomi. Bunga yang saya temukan, kalau ditaruh di pot, pasti jadi menarik dan bernilai ekonomis.
Dikomandoi Pared dan Fadlan, delapan anak-anak itu kami ajak berliterasi ke Air Terjun Batu Malanca. Atau warga di sana menyebutkan Sarasah Batu Malanca. Dari pinggir jalan, jaraknya sekira 200 meter, melewati pematang sawah dan ladang warga. Berjalan di pematang sawah yang kecil, butuh keseimbangan. Pengalaman ini, mungkin tak semua orang pernah merasakannya. Bahkan, istri saya dua kali terjatuh, tergelincir masuk sawah.
Di situlah sensasi jalan di pematang sawah. Walau terjatuh tetap saja bahagia, karena di depan mata air terjun sudah dekat. Memang, dari jalan tak kelihatan, karena air terjun itu tertutup kebun karet warga.
Anak-anak saya tes dengan literasi lapangannya. Saya tanya, ini apa yang ditanam, kok bukan padi. Mereka jawab tanaman mentimun. Buahnya dalam tanah atau bagaimana? Dijawab buahnya bergelantungan di atas tanah. Bunga mentimun itu apa warnanya, dijawab kuning. Literasi sederhana ini kalau ditanyakan ke anak-anak di kota, saya yakin pengetahuannya bisa kalah dengan Pared dan kawan-kawan.
Literasi mereka bisa ditingkatkan, misalnya memotret buah mentimun dan atau bunga mentimun. Lalu menggambar buah, daun dan bunga mentimun. Literasi bisa dilanjutkan dengan mendorong mereka bagaimana menuliskan dan menceritakannya.
Bahkan dari mereka dan orangtua mereka juga diperoleh pengetahuan literasi bahwa sawah yang ada keong, di situ tak ada lintah. Ini menarik, ternyata predator lintah adalah keong emas.
Sekitar 10 menit melewati pematang sawah dan ladang getah, saya dan istri mendapatkan pemandangan yang luar biasa. Kawasan air terjun Batu Malanca di Bukit Aua terlihat begitu memesona. Indah sekali.
Karena tersuruk dan tak ada publikasi, pasti tak banyak orang mengetahuinya, kecuali warga setempat. Saya walau sudah berkali-kali berkunjung ke kawasan ini, baru sekali ini ke Air Terjun Batu Malanca. Karena itu saya memotret sepuas-puasnya dan mungkin saja ini publikasi yang pertama. Walaupun air terjunnya relatif kecil, karena musim panas, namun keindahannya sudah bisa dibayangkan ketika musim hujan. Betapa asyiknya mandi-mandi menikmati Air Terjun Batu Malanca ini.
Puas menikmati Air Terjun Batu Malanca, karena sudah siang, sebuah kedai terdekat kami minta menyiapkan mie rebus. Kami menikmati bersama, penuh tawa ceria. Anak-anak saya pesankan untuk menceritakan dan menuliskan potensi wisata di daerahnya, setidaknya ke pihak sekolah, sehingga bisa menjadi tujuan wisata edukasi.
Kami senang bisa mengajak anak-anak di Korong Tanjuang ini berliterasi di alam terbuka. Sesuai filosofi Minang; “Alam Takambang Jadi Guru”. Guru adalah salah satu sumber pengetahuan. Alam banyak mengajarkan kita kearifan lokal.
Dan bagi saya, semua yang tertulis dan terbaca ini bisa menginspirasi dan menggugah rasa ingin tahu publik. Siapa tahu ada yang ingin mewujudkan sejumlah ide dan gagasan yang sudah saya paparkan, sehingga menjadi destinasi wisata yang bisa meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar lokasi.
(Yurnaldi, wartawan utama, fotografer, pegiat literasi Indonesia memperoleh Anugerah Literasi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, penulis/ editor buku)