Ada Tulus di Kilas Balik Foto Jurnalistik Palembang
KAKI BUKIT, Palembang – Agenda pameran foto jurnalistik bertajuk “Kilas Balik” datang kembali. Kali ini mempersembahkan “Kilas Balik 2020-2021” dengan penaja Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palembang menjumpai para peminta dunia fotografi setelah pada tahun lalu vakum karena pandemi.
Walau masih diwarnai pandemi Covid-19 pameran foto jurnalistik “Kilas Balik 2020-2021” tetap berlangsung dengan menerapkan protokol kesehatan di OPI Mal Palembang dan berlangsung 18 – 20 Februari 2022. Pameran ini menjadi ritual puncak dari karya jurnalistik para pewarta foto kalau dulu disebut “wartawan foto” yang ada di Palembang dan bekerja sebagai pewarta foto pada media massa cetak dan online.
Pada pameran foto yang berlangsung setiap tahun tersebut sejak tujuh tahun lalu, foto-foto jurnalistik dari pewarta foto yang meraih prestasi nasional bahkan internasional selalu mewarnai panel partisi foto yang berdiri di tengah ruang pameran atau di lobi mal.
Pada “Kilas Balik 2020 – 2021” menurut Ketua Panitia Pameran Sigit Prasetya, “Ada 288 karya foto yang dimaperkan yang berasal dari 24 pewarta foto media cetak dan online ditambah fotografer dari Citizen Journalism. Pameran kali ini juga istimewa, karena diikut pewarta foto dari Provinsi Bangka Belitung atau Babel,” katanya.
Pameran foto jurnalistik “Kilas Balik 2020-2021” menurut Ketua PFI Palembang M Hatta, mengusung tema “Adapatsi.” “Pameran Foto Kilas Balik 2020-2021 pada masa pandemi merupakan pameran yang ketujuh. Dari 288 foto yang dpamerkan, juga menampilkan 11 foto story terbaik PFI. Foto-foto yang dipamerkan menampilkan foto peristiwa yang terjadi di Sumsel dan sekitarnya ketika dihadapkan pada pandemi Covid-19,” katanya.
Pada pameran kali ini ada beragam foto yang ditampilkan para pewarta foto Palembang, ada foto tentang seni budaya, seputar pandemi dan vaksinasi, belajar online sampai bertema lingkungan hidup dan perubahan iklim.
Jumlah foto yang dipajang pada pameran kali ini jumlah lebih sedikit dibanding pameran foto jurnalistik “Kilas Balik 2018-2019” pada 2020 lalu yang memasang 320 foto karya 32 jurnalis foto dan masyarakat (citizen) di Sumsel.
Pengunjung mengaku kagum dan bisa mudah menangkap pesan atau informasi dari foto-foto yang dipamerkan. Walau tanpa harus membaca keterangan foto atau caption photo-nya mereka sudah bisa dengan cepat memahami dan mengetahui pesan yang disampaikan oleh sebuah foto jurnalistik. Pengunjung mengaku kagum dengan visualisasi yang disajikan beberapa pewarta foto anggota PFI Palembang.
“Seperti foto konser Tulus di Palembang sebelum pandemi Covid, komposisi dan paduan warnanya membuat mata betah melihat fotonya. Apa lagi kalau yang melihat foto itu adalah fansnya, Teman Tulus,” ujar seorang pengunjung.
Kemampuan memahami atau apresiasi dari para pengunjung pameran foto tersebut tidak terlepas dari pengetahuan dan pemahaman pewarta foto tentang apa itu foto jurnalistik. Bayangkan juga seorang pewarta foto tidak tahu apa itu foto jurnalistik, entah foto apa yang muncul di media massa tempatnya bekerja?
Foto Jurnalistik
Foto jurnalistik atau jurnalistik foto adalah paduan dari dua bidang, yaitu antara fotografi dan jurnalistik. Jurnalistik memiliki usia lebih tua, mulai berkembang sekitar tahun 1798 dan fotografi berkembang kemudian tahun 1839. Jurnalistik dan fotografi berpadu pada saat Harian Holladsche Mercurius memuat gambar penobatan Cromwell menjadi raja Inggris Raya pada tahun 1653.
Momen inilah kemudian disebut sebagai kegiatan foto yang berkaitan dengan berita atau yang kini dikenal dengan istilah foto jurnalistik juga ada yang menyebutnya jurnalistik foto. Dalam dunia jurnalistik, foto menjadi kebutuhan yang vital yang menjadi salah satu daya pemikat bagi para pembacanya.
Ada keterangan lain menyebutkan bahwa foto jurnalistik telah menjadi bagian penting dari sebuah surat kabar atau majalah sejak awal abad ke-20. Namun pada pertengahan abad ke-19 sudah ada fotografi perang Eropa oleh wartawan British Press.
Kendati cikal bakal kegiatan dari foto jurnalistik sudah terdeteksi tahun 1653. Namun, sejarah perkembangan foto berita atau jurnalistik foto tidak terlepas dari peran dan kontribusi seorang fotografer atau pewarta foto perang pada masa perang dunia ke II bernama Robert Cappa. Sekitar tahun 1936, saat dunia sedang berkecamuk perang, Robert Capa berhasil mengabadikan momen dramatis sekaligus monumental melalui lensa kameranya yang memperlihatkan seorang serdadu yang sedang roboh tertembak peluru di Spanyol.
Foto tersebut kemudian diberi judul “Death of Loyalist Soldier” dan meraih banyak perhargaan di antaranya penghargaan Pulitzer serta berulangkali dimuat diberbagai media massa cetak kala itu, seperti Majalah VU terbitan Prancis dan Majalah Life tempatnya bekerja. Robert Cappa adalah seorang wartawan perang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di medan perang.
Robert Cappa lahir di Budapest, Hongaria pada 22 Oktober 1913 dan meninggal setelah ia tertembak saat meliput perang Indo-China pada 25 Mei 1954 di Thai Binh, Vietnam. Robert Capa pernah melontarkan sebuah ungkapan yang fenomenal dan menjadi inspirasi para pewarta foto di seluruh dunia, yakni, “If your pictures aren’t good enough, you’re not close enough,” “Jika gambar kamu tidak terlalu bagus, berarti kamu belum memahami obyek.”
Di Indonesia perkembangan foto jurnalistik tidak terlepas dari seorang Alex Mendur yang berhasil mengabadikan pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Foto yang sangat fenomenal tersebut diambil dengan kamera foto Leica. Sejak saat itu seorang jurnalis foto Indonesia telah lahir.
Mengutip Ferry Darmawan dalam “Jurnalistik Foto di Era Digital: Antara Teknologi dan Etika” (Mediator Vol.6 No.1, Juni 2005) menjelaskan bahwa istilah jurnalistik foto (photo journalism) didedikasikan untuk Cliff Edom (1907- 1991) dosen Universitas Missouri, Sekolah Ilmu Jurnalistik selama 29 tahun. Edom mendirikan workshop jurnalistik foto pertamanya di universitas tersebut pada tahun 1946.
Beberapa orang lainnya mengatakan bahwa istilah tersebut ditemukan oleh Frank Mott, Dekan di Universitas Missouri dimana ia juga membantu mendirikan program pendidikan khusus jurnalistik foto tahun 1942.
Pada catatan yang lain menyebutkan, istilah dari foto jurnalistik pertama kali diperkenalkan oleh Wilson Hick redaktur senior majalah Life (1937-1950) yang berhasil “melahirkan” para pewarta foto kawakan lainnya di dunia, seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen dan Robert Capa.
Dalam buku yang ditulis Wilson Hick berjudul “World and Pictures” (1972) menyebutkan bahwa foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan. Dari buah pikirnya kemudian lahir sejumlah istilah ilmiah dan dasar-dasar serta teori dari foto jurnalistik.
Henri Cartier-Bresson pendiri agen foto terkemuka di dunia “Magnum” yang terkenal dengan teori “Decisive Moment” mengatakan, “Foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersembut mengungkap sebuah cerita.”
Dari Indonesia pewarta foto senior Oscar Motuloh yang mendapat gelar kehormatan Empu Ageng dari Institut Seni Indonesia (ISI) menyebutkan “Foto jurnalistik adalah suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan beragam bukti visual atas berbagai peristiwa kepada masyarakat seluas-luasnya secara cepat.”
Dalam pengertian yang umum, semua foto yang dimuat di media massa disebut sebagai foto jurnalistik, termasuk foto-foto peristiwa yang tampil di media online. Atau semua produk foto yang mempunyai nilai berita bisa disebut sebagai foto jurnalistik atau membuat berita dengan menggunakan foto sebagai media informasi.
Dalam perkembangan, foto jurnalistik tidak hanya sekedar kebutuhan untuk memenuhi kepentingan pemberitaan saja di media massa. Produk-produk foto yang bernilai berita pun kini tampil dalam pameran-pameran foto atau lomba foto, seperti pada pameran foto jurnalistik “Kilas Balik 2020-2021” yang diselenggarakan PFI Palembang.
Mengutip mantan editor foto senior Kartono Riyadi, semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi, dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi. Namun, yang membedakan foto jurnalistik dengan foto dokumentasi lainnya adalah terletak pada pada pilihan dan apakah foto tersebut dipublikasikan di media massa atau tidak.
Menurut Oscar Motuloh, “Seorang jurnalis foto tidak sekedar menampilkan kekerasan dan darah tetapi juga merekam peristiwa- peristiwa di sekitar kita yang menarik untuk diabadikan, foto jurnalistik dan foto dokumentasi mempunyai dasar yang sama, keduanya berdasarkan realitas kehidupan. Keduanya hanya dibatasi oleh suatu garis yang tipis yaitu dipublikasikan atau tidak. Foto jurnalistik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu spot dan feature. Foto spot lebih bersifat berita, sedangkan foto feature memberi informasi yang tidak mudah basi, seperti essay foto yang banyak terdapat di majalah National Geographic dan keduanya berkembang pesat.”
Menurut seorang wartawan perang senior dari Indonesia Hendro Subroto, “Foto jurnalistik harus bisa menceritakan kejadian sehingga tidak banyak komentar pun orang sudah tahu cerita fotonya foto itu dan yang terpenting dalam foto jurnalistik adalah momen.” Ingat bahwa momen atau peristiwa atau kejadian yang ditangkap oleh kamera dan tidak dapat diulangi untuk yang kedua kali.
Pada prinsipnya foto jurnalistik merupakan salah satu alat komunikasi untuk menginformasikan “sesuatu” kepada publik atau orang lain melalui medium visual. Foto jurnalistik sama seperti halnya sebuah berita yang ditulis seorang wartawan atau pewarta tulis di media massa menjadi alat informasi memiliki peran yang bisa untuk memperbaiki sesuatu, atau justru memperburuk sebuah suasana.
Sebuah foto jurnalistik seperti halnya berita dapat digunakan untuk membentuk opini publik, menjadi alat propaganda, mengajak orang untuk berbuat baik atau merusak moralitas masyarakat. Itu semua tergantung siapa yang mempublikasikannya dan apa tujuannya.
Foto jurnalistik itu bercerita atau melaporkan suatu kejadian atau kenyataan dengan menggunakan medium foto. Seperti halnya sebuah berita, pada foto jurnalistik juga melekat apa yang disebut dengan unsur-unsur berita, yakni 5W + 1H, terdiri atas, What (Apa); Who (Siapa); Why (Mengapa); Where (Dimana); When (Kapan); dan How (Bagaimana).
Selain itu foto jurnalistik itu memiliki ciri-ciri, antara lain memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri, melengkapi suatu berita atau artikel dan dimuat dalam suatu media. Dalam rangkaian foto pada “Kilas Balik 2020-2021” semua ciri-ciri itu bisa dijumpai. (maspril aries)