Home > Literasi

Bahasa Jurnalistik pada Jurnalisme Migas: Pemboran atau Pengeboran

Mungkin wartawan itu lupa atau memang tidak pernah belajar jurnalistik, walau pun berita tersebut adalah siaran pers bukan berarti isinya harus dikutip utuh.

SKK Migas memberikan apresiasi kepada jurnalis melalui anugerah jurnalistik hulu migas.
SKK Migas memberikan apresiasi kepada jurnalis melalui anugerah jurnalistik hulu migas.

Contohnya, banyak guru menggunakan teks-teks berita atau tulisan di media massa untuk dijadikan bahan ajar. Apakah itu dianalisis strukturnya, kalimatnya maupun cara berpikirnya. Kalau sebuah teks atau wacana yang dikutip itu tidak karu-karuan dan kemudian asal dimakan begitu, akan menjadi nutrisi atau gizi yang buruk bagi jiwa, pikiran manusia khususnya anak didik.

Kesalahan mendasar dalam penulisan bahasa Indonesia pada produk jurnalistik adalah cermin bahwa masih ada wartawan atau jurnalis yang tidak menguasai kosakata Bahasa Indonesia. Tidak salah jika kemudian, ada ahli bahasa Indonesia berkata, “Media massa itu merusak Bahasa Indonesia.” Menurut pakar pers Ashadi Siregar “perusakan” bahasa mungkin saja ada terjadi, dilakukan oleh wartawan yang memang sembrono.

Sampai kini masih banyak wartawan atau jurnalis yang tidak cukup memedulikan bahasa jurnalistik atau bahasa ragam jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Menurut Kunjana Rahardi dalam buku “Bahasa Jurnalistik” wartawan beralasan, fokus mereka sebagai wartawan bukan pada bahasa, tetapi apa yang diamanatkan peranti bahasa.

Alasan tersebut tidak sepenuhnya dianggap benar. Dalam pandangan Kunjana Rahardi, “Martabat media massa, sesungguhnya banyak ditentukan bagaimana bahasa ragam jurnalistik yang baik dan tepat diperantikan di dalam media massa.”

Bahasa Jurnalistik

Bahasa Indonesia ragam jurnalistik atau disebut bahasa jurnalistik, juga kerap disebut bahasa pers atau dahulu disebut bahasa surat kabar/ koran. Ragam bahasa jurnalistik adalah salah satu variasi bahasa yang digunakan wartawan atau jurnalis untuk menyampaikan informasi.

Bahasa jurnalistik menurut pakar bahasa Indonesia Yus Badudu yang disampaikannya lebih dari 40 tahun lalu pada Karya Latihan Wartawan (KLW) XVII yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1978, “Bahasa surat kabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahwa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya.”

Sampai era milenial sekarang, apa yang disampaikan Yus Badudu tersebut masih terus berlaku. Bahasa jurnalistik itu memiliki ciri-ciri komunikatif, spesifik, hemat, jelas makna, tidak mubazir dan tidak klise.

× Image