Informasi Resi
|| Cerpen Muhammad Rifky
Suara krasak-krusuk terdengar dari balik pagar sebuah kos-kosan putri. Di balik pagar terdapat tempat pembuangan sampah bagi gadis-gadis penghuni kos. Tapi bukan anjing atau kucing yang tengah mengobrak-abrik tempat sampah di pagi buta ini, melainkan seorang pemulung. Penampilannya cukup memprihatinkan. Kulitnya hitam gelap akibat terlalu lama berjemur di bawah matahari.
Pakaiannya compang-camping dan kotor, hanya mengenakan kaos bekas partai dan celana pendek yang dipotong dari jeans tua dipadukan dengan topi butut yang karetnya sudah hampir lepas. Namun, yang mengejutkan adalah usia pemulung itu masih sangat muda.
Fajar itulah namanya. Usianya mungkin masih belasan tahun. Dia putus sekolah sudah cukup lama. Setidaknya dia mampu belajar baca, tulis, dan berhitung. Sehari-hari dia membantu orangtuanya yang juga bekerja sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan berjualan seadanya. Fajar membantu ayah dan beberapa kenalannya untuk mengumpulkan sampah di sebuah kawasan kelurahan yang terletak di pinggiran kota. Fajar dan kawan-kawan direkrut langsung oleh pejabat kelurahan untuk menjadi jasa kebersihan di kawasannya.
Ketimbang kelurahan, area tersebut lebih mirip perumahan elit yang terdiri dari berbagai rumah bertingkat dan ruko-ruko dengan jalan yang dibangun dari deretan batako untuk menyerap air ketimbang aspal biasa. Kelurahan itu terletak persis di sebelah Universitas Ternama. Rumah-rumah bertingkat yang tersebar sepanjang jalan merupakan rumah kontrakan atau kos-kosan dengan beragam tingkatan harga. Ruko-rukonya juga beragam, mulai dari jasa laundry, fotokopian, warung makan, gym, hingga salon dan kafe. Karenanya, meski terletak di pinggiran kota namun kawasan tersebut sangat ramai dihiasi pendatang dan mahasiswa dari berbagai daerah.
Pertama kali menginjakkan kaki di sana, Fajar cukup iri dengan mahasiswa-mahasiswi yang tiap hari berangkat ke kampus untuk belajar atau berkumpul dengan kolega mereka di kafe dan sebangsanya. Tapi kini semua sudah menjelma menjadi rutinitas belaka. Tiap hari dia bangun sebelum adzan subuh berkumandang dan bergegas menaiki dump truck mini bersama 3-4 rekannya untuk mengumpulkan sampah. Sesampainya di kelurahan itu matahari sudah hampir terbit. Namun kawasan itu masih sepi. Banyak yang belum bangun. Mungkin sebagian dari mereka sibuk bergadang di malam sebelumnya untuk menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk dan baru tidur sekitar jam 2 atau 3 pagi. Yang terlihat hanya beberapa bapak-ibu sibuk jogging atau senam pagi.
Sekali lagi, semuanya menjelma menjadi rutinitas belaka. Fajar dan rekan-rekannya memiliki rute masing-masing dalam mengumpulkan sampah setiap paginya. Biasanya mereka bakal membagi pekerjaan per blok atau hingga batasan jalan tertentu. Mereka bekerja efisien. Fajar tiap harinya kebagian beberapa blok yang dominan diisi oleh kos-kosan putri. Entah apa yang menyebabkan Fajar diserahi tanggung jawab di blok-blok tersebut. Barangkali karena dia yang paling muda diantara para pemulung sehingga tidak akan canggung berurusan dengan penghuni dan penjaga kos yang membuang sampah di pagi hari. Para pemulung itu semuanya pria. Terkadang ada pemulung wanita yang turut membantu mereka. Namun biasanya Fajar yang selalu mengumpulkan sampah di blok-blok itu.
Sepanjang rutinitasnya sebagai pemulung, Fajar secara alamiah mengembangkan hobi “unik”. Dia kerap membuat deduksi dan spekulasi sederhana terkait tingkah dan kepribadian seseorang berdasarkan jenis sampah yang mereka buang. Orang lain mungkin akan menganggapnya menjijikkan atau biadab, sehingga Fajar hanya memendam hobinya ini dan tidak menceritakannya kepada siapapun. Tapi ini merupakan “hak istimewa”-nya. Dia dapat menggali sampah seseorang dan berimajinasi bagaimana keseharian mereka, apa saja makanan favorit mereka, bagaimana mereka mengerjakan laporan praktikum, berapa uang yang mereka habiskan per bulan, dan lain-lain.
Karena banyak yang membuang sampah mereka di pagi hari, Fajar sering berpapasan dengan orang-orang tersebut sebelum mereka berangkat kuliah atau kerja. Dia lalu mencocokkan imajinasinya dengan penampilan dan aspek yang terlihat dari individu yang dimaksud di hari itu. Awalnya dia seringkali salah membuat deduksi, namun perlahan dia semakin “jago”. Dengan lirikan sederhana dan ingatannya yang encer dia mulai membangun profil dan narasi tentang tiap penghuni kost yang dijumpainya tiap hari di kepalanya.
Namun belakangan profil-profil di kepala Fajar berkembang semakin kompleks. Salah satu kemudahan era modern adalah semakin banyaknya orang yang berbelanja online atau menggunakan jasa pesan antar makanan via smartphone. Mayoritas mahasiswa dan penghuni kos mengandalkan inovasi ini setiap harinya. Dari transaksi-transaksi tersebut maka menumpuk resi belanja, resi pengiriman paket dan sebangsanya. Mahasiswa-mahasiswi biasanya membuang begitu saja resi-resi ini bersama sampah lainnya. Hal ini yang lantas dimanfaatkan oleh Fajar.
Berbekal informasi yang tertera di kertas-kertas ini Fajar dapat menyusun profil yang solid terkait nama lengkap, alamat, nomor HP, hingga riwayat belanja seseorang. Bila dulu informasi-informasi sensitif ini sulit diperoleh, maka sekarang orang asing seperti Fajar dapat memperoleh info pribadi seseorang dengan mudah hanya bermodalkan sampah. Kemajuan teknologi sungguh mengerikan.
Dari sekian banyak kos yang dilalui oleh Fajar dkk tiap harinya. Ada beberapa yang terus membekas di pikirannya. Kos tiga lantai berwarna hijau dengan pagar yang tinggi berkerangkeng dan ibu kost yang sangat judes terhadap para pemulung, kos dua lantai yang memiliki deretan mobil terparkir di sepanjang halaman yang luas, serta kos mungil milik seorang seniman ternama. Di tempat terakhir ini tiap harinya pikiran Fajar terfokus pada satu individu, seorang mahasiswi cantik bernama Angela. Terkadang Fajar dapat melihat sosoknya yang berangkat ke kampus mengendarai sepeda motor pagi-pagi sekali. Beberapa kali pandangan mata keduanya bertemu, namun Angela cenderung acuh dan Fajar selalu memalingkan mukanya untuk menyembunyikan malu. Gadis itu sangat cantik bak model. Tingginya mencapai 175 cm dengan rambut hitam panjang terurai hingga pinggang. Pakaiannya modis dengan berbagai perpaduan blazer dan celana panjang yang serasi. Beberapa mungkin bakal salah menduganya sebagai seorang eksekutif perusahaan atau artis.
Dari “pemantauan” Fajar terhadap sampah di kos itu, dia yakin kalau Angela berasal dari keluarga terpandang dan mungkin cukup kaya. Dia termasuk yang sering berbelanja online dan barang yang dibelinya biasanya tergolong mahal. Gadis ini cukup konsisten membeli berbagai barang perawatan diri khususnya untuk rambut dan kulit setiap 2 bulan sekali. Dia memiliki beberapa brand favorit. Parfum yang dikenakannya berasal dari luar negeri. Agendanya di luar kuliah adalah menonton film, pergi ke kafe, atau berenang di hotel yang tergolong besar di kawasan tersebut. Kemungkinan besar dia vegetarian atau setidaknya mengikuti tren anak muda yang sadar gizi.
Dia berkuliah di jurusan desain interior dan tergolong pandai menggambar perspektif ruangan. Dia rutin menggunting kuku pada hari Kamis. Salon langganannya memiliki promo dan khusus member yang telah digunakannya beberapa kali. Dia hobi membuat kejutan atau membeli kue untuk teman-temannya yang tengah berulang tahun. Dia memiliki rekening di tiga bank, dua berupa rekening debit sedangkan satu kredit. Meski selalu membayar menggunakan kartu kredit, tiap awal bulan dia selalu menyisihkan waktu selesai kuliah untuk menarik uang kas di ATM yang sama dekat kampus. Dia memiliki beberapa koleksi album Boyband K-pop favorit. Dia bahkan membeli lini produk snack yang berkolaborasi dengan boyband tersebut dan menghadiri konser mereka di stadium tahun ini. Siklus menstruasinya jatuh pada pertengahan bulan. Tiap menstruasi dia selalu membeli obat pereda sakit yang sama.
Pengeluarannya dapat ditaksir antara dua setengah hingga empat juta per bulan.
Semua informasi ini didapat dari resi belanja, tiket bioskop, botol, kertas bekas dan sebangsanya. Namun yang terpenting Fajar juga memiliki nomor HP Angela dari salah satu bungkus paket belanja online. Membangun profil yang mendetail membuat Fajar merasa sangat dekat dengan Angela. Dia memuja dan bahkan terobsesi dengan gadis ini. Bahkan obsesinya ini perlahan semakin berbahaya. Ketimbang membuang sampah-sampah tersebut, Fajar menyembunyikan resi-resi Angela, termasuk nomor HP-nya, dan menyimpannya dalam sebuah boks alumunium bekas kue lebaran yang ditaruhnya di kamar. Ini merupakan rahasianya dan Fajar berencana untuk terus “memantau” pujaan hatinya ini dari kejauhan.
Suatu hari, rekan Fajar sesama pemulung yang lebih tua lima tahun darinya, Ian, melakukan hal aneh di sela-sela istirahat rutinitas mereka. Dia membongkar tiap bungkusan dan kemasan di pick-up dan memungut sejumlah sobekan kertas kecil. Fajar bertanya apa yang dilakukannya. Iwan menjawab.
“Ini gue ada peluang bisnis baru. Tertarik gak?”, ujarnya seraya tersenyum lebar.
“Gak. Palingan yang aneh-aneh lagi.”, jawab Fajar ketus.
“Ehh, dengar dulu lah.” Ian duduk di sebelah Fajar. “Loe liat ini kan?”, dia mengibaskan kertas yang dipungutnya tadi di depan muka Fajar. Itu adalah kertas resi paket belanja online. Terpampang jelas nama, alamat, dan nomor telepon penerimanya.
Fajar diam tak peduli.
“Jadi gini. Kemarin ada orang nanya-nanya gitu di jalan. Katanya dia dari semacam perusahaan jasa sedang nyari data-data masyarakat untuk disurvei, khusus yang suka belanja online. Dia nawarin uang jika gue bisa ngumpulin kertas ini”.
“Ohh”, Fajar mulai menunjukkan ketertarikannya. Dia merasa ada yang aneh dengan cerita tersebut. “Untuk apa orang itu mengumpulkan sobekan resi begituan?”
“Katanya sih untuk survei pemilu semacamnya. Pengen melihat hubungan antara daya beli masyarakat dengan pre.... preve... ya, preferensi pada partai bla bla bla. Gue gak terlalu peduli begituan, yang penting uangnya. Lumayan loh”, Ian tertawa kecil.
Ian mungkin tak begitu pintar, namun harusnya dia dapat menangkap maksud sesungguhnya orang tersebut. Orang waras macam apa yang menyuruh pemulung mengumpulkan data orang lain untuk survei politik yang tidak jelas.
“Bukan dipakai untuk penipuan?”, Fajar blak-blakan. Dia dapat mengasumsikan bahwa orang yang menyuruh Ian tersebut sedang mengumpulkan data orang-orang, khususnya nama dan nomor telepon untuk skema penipuan via telepon dan SMS. Mengingat zaman sudah semakin maju, mungkin juga via pesan WA yang sering Fajar dengar belakangan.
Dulu pernah ada skema penipuan serupa. Ketika orang-orang masih suka mengirimkan surat dan sebangsanya melalui pos, penipuan kartu pos cukup mewabah. Sayembara dan kuis berhadiah di masa itu kerap menyuruh orang-orang mengirimkan kartu pos sebagai syarat berpartisipasi dalam undian. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab lantas memanfaatkan hal tersebut untuk menipu orang sebagai pemenang undian. Hadiahnya bermacam-macam dan seringkali berlebihan, semisal memenangkan mobil, emas, dan bahkan rumah. Padahal mereka hanya mengikuti undian untuk memenangkan merchandise di sebuah majalah atau semacamnya. Fajar mengetahui penipuan ini dari cerita bapaknya dan dari sampah surat-surat dan dokumen palsu yang dikirimkan para penipu. Dalam surat-surat tersebut kerap tertempel potongan kartu pos berisikan nama dan alamat “pemenang” sebagai “bukti” bahwa mereka telah memenangkan hadiah yang tak masuk akal. Dari potongan kartu pos itu jelas bahwa para penipu kemungkinan besar menggali tumpukan sampah penyelenggara lomba dan merangkai kembali potongan kartu pos yang telah dihancurkan mesin pemotong sebelumnya. Skema kali ini jelas tidak banyak berubah.
“Bisa jadi. Gue gak nanya kemarin. Tapi apa bedanya coba? Kan kita sama-sama dapat uang dan lagi bukan kita yang berbuat jahat. Orang-orang yang melakukan penipuan itu yang jahat”, Ian bersikeras. Fajar tidak yakin dapat meyakinkannya untuk berhenti.
Ian merangkul Fajar dan mulai membisikkan sesuatu. Air muka Fajar langsung berubah.
“Beneran? Sebanyak itu uangnya?”, Fajar tidak percaya.
“Iya. Gimana? Kamu juga tertarik kan? Gini aja, bantu gue ngumpulin kertas-kertas...”
“Resi”
“Ya, resi. Terserah. Nanti kita bagi dua hasilnya. Gimana? Lumayan loh.”
“Biar gue pikir dulu.”
Ayolah. Gak usah pakai pikir-pikir segala. Habis ini gue bakal ketemu orangnya. Jadi kita harus mengumpulkan resi-resi ini sekarang. Oke?”
“Ok. 50:50 ya. Awas kalau kurang.”, jawab Fajar. Uang memulung sampah jauh lebih kecil dari yang ditawarkan Ian dan “bisnisnya”. Lagipula, benar katanya. Mereka tidak melakukan kejahatan. Mereka hanya mengumpulkan kertas bekas. Terserah orang yang membeli resi-resi ini akan menggunakannya untuk apa.
“Nah gitu dong. Tos dulu, gih!”, keduanya tos tangan di udara. Mereka langsung bergerak.
Fajar mulai memilah-milah sampah yang telah mereka kumpulkan di pick-up. Tidak banyak resi yang mereka peroleh. Fajar tidak habis pikir. Dia tahu harus mencari dimana. Dia mulai mengumpulkan sampah-sampah dari kost dan rumah yang diketahuinya rutin berbelanja online. Banyak mahasiswi rantauan yang membeli kosmetik dan sebangsanya secara online. Ketimbang mahasiswa yang juga membeli online jumlahnya jauh lebih kecil. Lagipula, lebih mudah untuk menargetkan perempuan daripada pria menurutnya.
Fajar secara efisien memprediksi lokasi mana saja yang pasti memiliki bungkusan sisa resi belanja atau kiriman paket. Tak lama berselang dia telah mengumpulkan banyak resi dengan nama dan nomor telepon yang tertera dari berbagai penjuru kelurahan. Tapi, ada satu pengecualian. Fajar tidak mengumpulkan resi dari kos Angela. Meski dia tidak mempermasalahkan mengumpulkan data pribadi orang-orang di kelurahan ini, dia tetap tidak tega untuk menyeret nama gadis yang disukainya dalam pusaran penipuan. Fajar memutuskan merahasiakan hal ini dari Ian. Mereka juga sudah mengumpulkan banyak untuk saat ini, jadi seharusnya tidak masalah.
Selesai mengumpulkan sampah dan kembali ke TPA, waktu sudah beranjak siang. Ian memaksa Fajar menemaninya bertemu dengan orang yang menjanjikan mereka uang. Setelah membersihkan diri sejenak, keduanya berangkat menuju sebuah warung kopi yang terletak tak jauh dari TPA. Ian memperkenalkan Fajar ke sang perantara. Rizal namanya. Penampilannya seperti seorang sales. Baju kemeja tipis biru dengan celana dasar dan sepatu kanvas hitam, serta sebuah tas selempang melengkapi penampilannya. Rizal tidak terlihat muda namun juga tidak terlalu tua. Rambutnya menipis ke belakang dan terlihat botak di depan. Kumis dan jenggot tipis samar-samar terlihat di wajahnya. Dia tersenyum bisnis saat berhadapan dengan keduanya. Tanpa basa-basi atau menawarkan minuman, dia langsung mempersilahkan Ian dan Fajar memperlihatkan hasil mereka.
Ian menyodorkan sebundel kertas resi paket yang telah diikat menggunakan karet gelang dalam sebuah bungkus plastik. Rizal membuka bundel tersebut dan meninjau satu-persatu nama yang tertera. Setelah puas, dia kembali mengikat bundel itu dan memasukkannya dalam tas yang dibawanya. Dari tas yang sama dia mengeluarkan amplop cokelat. Amplop itu berisi uang. Setelah meninjau isinya, dia mengeluarkan beberapa lembar uang, menaruhnya dalam tas, dan menyerahkan sisa uang beserta amplopnya kepada Ian.
“Terima kasih. Ini imbalannya seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya”, ujarnya dengan senyum bisnis yang masih menempel. “Saya menantikan yang selanjutnya. Kalau ada apa-apa nanti tinggal menghubungi saya langsung. Nomor saya masih disimpan kan?”
“Ya. Kalau sudah terkumpul lagi yang baru akan saya infokan”, balas Ian.
“Aku duluan kalau begitu. Permisi.” Rizal beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Tanpa basa-basi lagi ya”, bisik Fajar kepada Ian seraya menoleh menyaksikan sosok Rizal menghilang di balik keramaian.
“Ya. Namanya juga orang bisnis.”, jawab Ian. “Loe laper? Gimana kalau kita makan dulu? Kali ini tentunya gue yang traktir.” Dia mengayun-ayunkan amplop tersebut di muka Fajar.
“Boleh. Tapi pakai bagian loe. Sini! mana bagian gue??”, Fajar mencomot amplop tersebut dan mengambil setengah imbalannya yang telah dijanjikan.
“Ihh. Dasar gak sabaran”, Ian menyikut Fajar. Keduanya tertawa.
Beberapa bulan berlalu. Fajar dan Ian telah beberapa kali “berbisnis” dengan Rizal. Mereka telah menyuplai informasi resi dari sebagian besar warga di kelurahan itu. Fajar yakin sudah hampir tidak ada yang tersisa. Kemungkinan mereka harus menunggu tahun ajaran baru ketika penghuni kost berganti dan calon mahasiswa baru bermunculan. Hari ini Fajar rehat memulung sampah. Dia menghabiskan sebagian besar waktu liburnya di pusat permainan Arcade di mal. Permainan favoritnya adalah basket dan balapan. Suatu ketika, selepas bermain Fajar berpapasan dengan Rizal yang tengah membagikan pamflet layaknya seorang sales.
“Oh, hi. Fajar kan? Ini aku Rizal. Ingat?”, sapanya.
“Siang, mas Rizal. Gak nyangka ketemu di sini. Sehat?”. Fajar mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
Rizal mengulurkan tangannya, lalu seketika menarik Fajar menjauh dari kerumuman.
“Sini. Ada yang mau aku bicarakan.”, Rizal buru-buru memaksa.
Setelah dirasa aman, Rizal kembali membuka pembicaraaan.
“Jadi gini. Aku terbantu sekali terkait masalah kertas resi kemarin. Kamu dan Ian bisa dibilang banyak berkontribusi dalam usaha kami. Nah, kebetulan kami lagi ada buka posisi untuk satu orang. Kamu mau, gak?”
“Sebagai sales gitu? Kenapa gak minta Ian aja?”, jawab Fajar.
“Bukan. Bukan sales. Aku cuma bantuin teman. Ini mah beda. Kerjanya rada mirip kayak kemarin dan gak harus berjemur di bawah matahari. Ian kamu tahulah. Dia orangnya gak begitu pintar amat. Ini kerjanya cukup telaten, mendetail. Kami perlu orang yang bisa mengetik. Kamu bisa mengetik kan?”
“Saya pernah belajar waktu sekolah dulu. Tapi cuma sebatas dasarnya. Sudah lama saya gak menyentuh komputer.”
“Smartphone?”
“Saya gak punya HP.”
“Gak masalah. Nanti aku atau yang lain bisa bantu. Yang penting kamu tertarik gak? Lumayan loh. Ada gajinya, gak kayak kerjaan kita kemarin.”
Fajar terdiam sejenak.
“kalau boleh tahu, apa pekerjaannya sebenarnya?”, tanyanya.
“Nanti akan kujelaskan pas hari H di kantor. Tenang. Bukan pekerjaan yang ribet, hanya memang harus telaten. Yang penting sekarang, kamu tertarik gak?”, jawabnya.
Rizal tidak memberi banyak pilihan kepada Fajar. Pekerjaan ini terdengar mencurigakan. Tapi mengingat hasil mereka sebelumnya membuatnya tergiur. Akhirnya Fajar menarik nafas panjang dan mengucapkan, “Ya!”
Seminggu kemudian Fajar telah berdiri di sebuah ruko sederhana mengenakan kemeja lusuh dan celana dasar turunan dari ayahnya. Dia disambut oleh Ian yang lalu mengantarnya memperkenalkan diri kepada sejumlah orang di kantor tersebut dan menjelaskan deskripsi pekerjaannya sebenarnya.
Tugasnya adalah menjadi anggota “telemarketing” dalam skema penipuan lowongan kerja. Fajar bertugas menulis lowongan palsu di media sosial hingga aplikasi pencari kerja. Calon korban yang merespon panggilan kerja ini akan mengirimkan data pribadi, CV, dan sebangsanya ke alamat e-mail “perusahaan”. Lalu, Fajar akan merespon dengan mengirimkan e-mail generik berisikan pernyataan kalau korban lolos kualifikasi atau tes awal dan harus membayar biaya sekian sebagai syarat hingga menggunakan jasa travel atau hotel tertentu untuk menghadiri wawancara kerja. Terkadang Fajar harus menelpon korban dan berlagak layaknya staf rekrutmen sebenarnya untuk meyakinkan korban. Tujuan akhirnya adalah agar korban mentransfer uangnya sebelum sadar kalau mereka telah ditipu.
Bila dipikir, beberapa bulan lalu Fajar tidak menyukai ide untuk terlibat dalam skema penipuan. Namun kini dia terjun langsung mencoba memancing lulusan-lulusan baru yang terjun ke dunia kerja. Ketimbang sebelumnya, dia tidak merasa bersalah atau khawatir dengan perbuatannya. Lagipula, sebagai pemulung yang tidak tamat sekolah dia tidak memiliki banyak opsi untuk bekerja dan memperoleh uang guna menghidupi keluarganya. Imbalan dari pekerjaan semacam ini terlalu menggiurkan baginya. Selain itu, Fajar turut merasakan kepuasan tersendiri bila berhasil menipu muda-mudi yang kebelet melamar kerja hanya karena mereka baru saja lulus dari universitas kenamaan.
Berbicara tentang universitas, Sudah agak lama Fajar tidak berpapasan dengan Angela. Dia masih memulung sampah di keluharan itu, namun hampir tidak pernah berpapasan dengan sang pujaan hati. Entah apa penyebabnya. Harusnya jadwal kuliahnya memungkinkannya untuk berpapasan beberapa kali seminggu sebelum kelas pagi. Mungkin Angela sedang sibuk atau jadwal kuliahnya berubah. Fajar berharap dapat memandang paras cantiknya segera.
Dua minggu kemudian, Fajar menemukan objek aneh dalam sampah milik Angela. Dua buah kondom yang nampak telah digunakan. Kondom itu terlihat seperti balon plastik kecil dengan ujung yang diikat dan di dalamnya terdapat cairan putih. Otak Fajar berhenti berfungsi untuk sesaat. Apa ini? Bukannya ini kondom? Kenapa bisa ada di sini? Bagaimana? Siapa? Tidak mungkin ini milik Angela. Tidak mungkin. Dia merupakan sosok suci yang gaul dan ramah dengan siapa saja. Aku tak pernah mendengar dia punya pacar. Siapa? Apakah ini sebabnya dia jarang terlihat belakangan? Apakah dia berpacaran dengan orang lain? Apakah ini artinya dia mengundang lelaki tersebut ke kos untuk... Tidak mungkin. Berhubungan intim? Harusnya itu dilarang. Kondom ini masih lumayan baru. Berarti dia baru saja melakukannya semalam? Siklus menstruasinya. Oh tidak. Oh tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.
Tiba-tiba terdengar deritan suara engsel pagar yang bergeser pelan. Seorang keluar dari kos. Angela. Dandanannya berbeda dibandingkan biasanya. Sangat dewasa dan menor. Makeup halus dan lipstik sederhana yang biasa digunakannya kini berganti dengan makeup putih tebal dan lipstik merah merona yang menonjolkan bibirnya. Angela telah berubah. Fajar yang terkejut hampir tidak mengenali orang yang berdiri di depannya tersebut.
“Oh. Pagi mas. Permisi.”, sapa Angela.
Fajar tidak merespon. Dia hanya mengangguk kecil seraya Angela pergi meninggalkan kos. Fajar merasa terpukul. Seharian itu dia hanya menerawang jauh, pikirannya kosong.
“Hei, Fajar! Kamu dengar gak?”, Rizal menampar pundak Fajar, membangunkannya dari lamunan. Fajar telah berada di kantor. Dia tidak sadar bagaimana dirinya bisa berada di sana. Syok pagi ini benar-benar mengacaukan pikirannya.
“Ah... ya! Maaf. Lagi banyak pikiran”, Fajar mengusap mukanya. “Ada apa?”
Rizal menghela nafas panjang. “Jadi gini, kita lagi punya ide baru untuk menggaet ‘Calon Konsumen’. Aku yakin ini akan berhasil 100 persen. Tapi masalahnya ini harus dicoba lebih dahulu. Cuma perlu nama dan nomor HP. Seperti pas kita pertama bertemu dulu. Ada saran siapa sebaiknya targetnya?”
“Kenapa gak dicoba dengan yang dulu. Masih ada kan datanya?”, jawab Fajar.
“Hah. Kamu gak paham. Dalam bisnis semacam ini kita harus hati-hati untuk tidak menggunakan target yang sama. Orang-orang ini sudah pernah atau mungkin hampir terjerumus. Tentunya mereka bakal lebih berhati-hati ketimbang sebelumnya, ya kan? Selain itu, menghubungi orang yang sama jauh lebih beresiko. Kita gak tahu apakah nantinya polisi yang bakal menggedor pintu ruko ini.”
“Benar juga sih.”
“Okelah. Kalau kamu ada saran siapa yang bisa kita manfaatkan segera kasih tahu ya. Kamu biasanya punya ‘koneksi’ yang luas. Atau suruh kawanmu itu, si Ian, untuk membantu. Barangkali kalian punya nama-nama baru dari kertas bekas seperti kemarin.”, Rizal beranjak pergi.
Fajar merenung sejenak. Sekarang sudah mau semester baru dan penghuni kost terus silih-berganti beralih. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengumpulkan info-info baru dari resi seperti dulu.
Tunggu dulu.
Fajar masih memiliki satu nama yang belum diberikannya kepada Rizal dkk.
Sesampainya di kamar, Fajar buru-buru merogoh kaleng bekas yang telah lama disimpannya. Fajar mengeluarkan resi-resi bekas milik Angela. Selama ini dia berusaha tidak melibatkan nama yang tertera di kertas di tangannya. Namun, kini semua telah berubah. Beberapa hari kemudian Fajar dan Ian telah memberikan sejumlah nama dan nomor telpon baru kepada Rizal, termasuk di dalamnya nama Angela.
Tak berapa lama setelah itu, Rizal memberikan kabar gembira. Modus penipuan baru mereka telah membuahkan hasil, bahkan sampai diliput di berita media TV dan koran nasional. Baik TV, radio, koran hingga media sosial ramai-ramai memberi peringatan dan imbauan kepada masyarakat untuk menghindari kebocoran data dan informasi pribadi mereka kepada penipu. Karena semua perhatian baru ini, Rizal menginstruksikan Fajar dan Ian untuk bersembunyi sementara waktu dan tidak mencoba menghubunginya. Dia berjanji akan memberikan imbalan kepada keduanya setelah situasi tenang. Ian tidak sabar dan khawatir kalau mereka juga bakal ditipu oleh Rizal. Fajar sendiri cenderung masa bodoh. Dia tidak terlalu mempermasalahkan situasi ini karena dia masih menyimpan sejumlah uang hasil “membantu” para penipu selama ini.
Selang beberapa bulan berlalu Rizal menepati janjinya. Dengan senyum sumringah dia memberikan dua amplop tebal kepada Fajar dan Ian. Sebagai ucapan terima kasih, Rizal bahkan mentraktir keduanya makan. Tidak biasanya. Setelah berpisah, Fajar dan Ian menghitung uang yang mereka dapatkan. Jauh lebih banyak dari yang mereka peroleh selama ini baik dari kegiatan memulung maupun dari mengumpulkan info resi dan membantu sindikat penipu online.
“Hahaha. Mantap nih. Kita kaya”, ujar Ian kegirangan.
“Ya. Lumayan lah”, jawab Fajar singkat.
“Kok kau keliatan kurang senang gitu. Kenapa? Coba cerita ke Abang”, balas Ian bercanda.
“Apaan sih? Jangan dekat-dekat ahh.”
“Jadi mau kau apakan bagianmu? Kalau gue sih kepikiran kredit motor. Gue mau coba peruntungan jadi ojek online.”
“Ohh. Semoga sukses kalau begitu. Gue sih kemungkinan mau memperbaiki rumah. Kasihan bapak dan emak”.
“Waw. Dasar anak manja. Kenapa gak kau pakai uang itu untuk godain cewek? Pasti banyak yang mau. Masih muda, tampan lagi. Sayang ya putus sekolah”.
“Lah gak salah kan? Ini juga uangku. Terserah mau kupakai untuk apaan.”
“Yowis lah kalau begitu”.
Beberapa minggu kemudian Fajar masih sibuk memulung sampah. Ian telah beralih menjadi supir ojek online. Keduanya jarang bertemu belakangan ini. Rumah keluarga fajar sedang direnovasi. Dia berencana membeli beberapa furnitur baru dengan sisa uang miliknya. Rizal menyuruhnya untuk tidak datang ke kantor sementara ini karena khawatir dengan kemungkinan investigasi polisi terhadap kasus modus penipuan baru yang berhasil mereka lakukan kemarin.
Pick-up Fajar dan kawan-kawan sampai di depan kos yang cukup familiar. Kos Angela. Fajar mulai mengumpulkan sampah di depan kos tersebut. Aneh. Tidak terdapat bungkusan sampah Angela biasanya. Ada tanda-tanda penghuni baru di kos tersebut. Mungkinkah? Fajar berusaha mengintip di balik pagar kos. Dia tidak melihat kendaraan motor Angela. Dia mulai curiga. Tapi tidak ada cara memastikannya. Fajar memutuskan kembali lagi beberapa hari kemudian.
Seperti dugaannya, nampaknya Angela telah meninggalkan kos dan penghuni baru telah menempati kamar lamanya. Fajar tengah sibuk memulung sampah di depan kost ketika ibu kos Angela keluar menaruh bungkusan sampah baru. Fajar memutuskan menyapa.
“Pagi, Bu”, ujar Fajar.
“Pagi, Mas”, jawabnya.
“Sibuk nampaknya, Bu?”
“Ya, biasalah. Nyapu, nyuci, masak.”
“Kos-kosan-nya rame terus ya saya perhatikan.”
“Iya. Ini malah baru ada yang masuk. Dua orang”.
“Begitukah? Kemana yang lama memangnya? Sudah lulus ya, bu?”
“Satu sudah lulus. Satu lagi... yah, ada masalah keluarga.”
“Masalah keluarga? Ada yang meninggal keluarganya?”
“Bukan, mas. Mas tahu gak dengan mbak Angela? Itu loh, yang suka berangkat pagi-pagi. Mas pasti pernah ketemu kan?
“Oh yang cantik bak model itu yah? Rambut panjang, bawa motor?”
“Iya. Tuh mas tahu. Memang cantik Mbaknya. Nah kemarin orang tuanya datang. Mereka berantem.”
“Hah? Berantem?”
“Iya. Waduh, pokoknya kacau dah. Sampe bapak harus turun tangan melerai. Padahal biasanya Mbaknya adem-adem aja.”
“Kenapa memangnya, bu?”
“Jadi, menurut Bapak sih mbak Angela ini kena tipu, lewat WA gitu. Saya juga gak paham. Tapi katanya sampe habis uang puluhan juta. Nah uangnya itu dari orang tuanya. Marah lah mereka pas tahu anaknya kena tipu.”
“Tipu apaan tuh bu? Kok bisa sampe puluhan juta?”
“Saya juga gak ngerti mas. Ayah mbak Angela sampe bentak-bentak, sementara Mbaknya cuma nangis aja. Akhirnya si Mbak Angela disuruh orangtuanya pulang malam itu juga.”
“Ohh. Begitu ya.”
“Ahh. Pokoknya kacau lah. Bahkan pacarnya aja gak tahu kalau
“Dia punya pacar? Apa yang terjadi?”
“Iya, mas. Mana mereka baru jadian sekitar 3-4 bulan lalu. Pernah beberapa diajak ke kosan. Orangnya baik padahal. Besoknya setelah Mbak Angela pulang, pacarnya datang nanyain mana mbak Angela. Saya ceritain lah. Masnya langsung pulang, kayak kecewa gitu”.
“Hmm.”
“Ngomong-ngomong, mas merasa kasihan gak dengan Mbak Angela? Padahal cantik, baik, dari keluarga terpandang. Ehh, malah kena musibah gitu.”
“Saya gak begitu kenal sih, bu. Cuma beberapa kali papasan aja. Saya gak tahu bagaimana orangnya sebenarnya. Saya permisi ya, bu.”, Fajar mengakhiri percapakan dan beranjak pergi.
Pada akhirnya, apa yang terjadi dengan Angela bukanlah urusannya. Dia sudah tidak lagi peduli dengan wanita tersebut setelah menyelipkan kertas resi berisi informasi pribadinya bersama kertas resi lainnya kemarin. Sedari awal Angela hanyalah orang asing baginya.
* * *
Muhammad Rifky – Film Maker lulusan Kelas Film Profesional Pusat Perfilman Usmar Ismail – Jakarta. Tahun 2019.