Mereka Menyebutnya Galodo
Mengutip Haryono Kusumosubroto dalam bukunya “Aliran Debris & Lahar Pembentukan Pengaliran”, galodo atau aliran debris sebagai suatu wujud aliran massa yang mempunyai kemampuan daya rusak tinggi karena berat satuannya dapat mencapai 2,70 gr/cm3, tidak dapat dicegah untuk tidak terjadi.
Menurutnya, debris terjadi karena faktor pembentuk aliran debris yaitu sumber material atau material yang tersedia di daerah produksi, air dalam volume memadai yang berasal dari air hujan dan kemiringan dasar lembah atau dasar sungai, dan kemiringan dasar sungai.
Sementara itu Faiqotul Falah dan Endang Savitri dalam penelitian berjudul “Pemberdayaan Masyarakat dalam Mitigasi Banjir Bandang di Sumatera Barat” (2016) menyebutkan tanda-tanda galodo.
Menurut persepsi masyarakat di kota Padang dan Kabupaten Lima Puluh Kota tanda-tanda galodo antara lain : a. Hujan lebat yang terus menerus di hulu sungai, ditandai dengan awan hitam gelap yang tampak di atas hulu sungai lebih dari tiga jam. b. Suara gemuruh dari arah hulu ketika sumbatan di sungai jebol. c. Aliran air sungai menjadi lebih gelap warnanya dan berbau tanah.
Akibat bencana alam galodo selain mengubah bentang alam juga mengubah mata pencarian masyarakat. Menurut Widia Fitri Afni dalam “Bencana Alam Duo Koto Di Nagari Guguk Malalo Kabupaten Tanah Datar: Perubahan Sosial Ekonomi (2000‐2010) menyebutkan bencana alam galodo Duo Koto pada tahun 2000 membuat masyarakat menderita banyak kerugian, korban nyawa, harta benda dan lahan pertanian.
Sejak bencana alam galodo banyak aktivitas masyarakat menjadi lumpuh, lahan pertanian tempat mereka memenuhi kebutuhan hidup banyak yang hilang dan tidak bisa digarap kembali. Hasil penelitian Widia Fitri Afni menemukan, bahwa penduduk yang terkena galodo mulai kehilangan pegangan dan mata pencarian mereka.
Sebelumnya 90 persen masyarakat bertani dan setelah terjadi galodo, mata pencaharian pun berubah atau beralih profesi ke penggali pasir dan batu, buruh serta beternak dan industri kecil.