Mereka Menyebutnya Galodo
Tahun 2009 bencana galodo terjadi pada pagi hari tanggal 30 Maret melanda Nagari Pasie Laweh dan Kandang Balabuang, Bayang, Koto Panjang, Sungayang, Sungai Jambu dan Salimpauang. Galodo terbesar terjadi di Nagari Pasie Laweh.
Menurut Putri Nabillah dan kawan-kawan dalam “Nagari Pasie Laweh Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar Tahun 2009 – 2019” (2023), penyebab terjadinya bencana galodo di lereng Gunung Merapi tidak ada kaitannya dengan kegiatan vulkanis tetapi disebabkan oleh ketidaktahanan tanah dalam menerima derasnya curah hujan yang berada dipuncak Gunung Merapi.
Tahun 2010 galodo melanda Nagari Batupayung, Kecamatan Lareh Sago Halaban dan Nagari Labuah Gunung, Kecamatan Luhak yang terjadi pada tanggal 20 Maret 2010 sekitar pukul 7 malam.
Galodo Banjir Bandang
Galodo adalah sebutan yang diberikan masyarakat Minangkabau terhadap bencana banjir bandang. Galodo merupakan salah satu bencana yang berulang kali melanda Propinsi Sumatera Barat. Masyarakat menartikan galodo adalah aliran sungai disertai dengan pasir, kerikil, batu-batu dan air dalam satu paket dengan kecepatan tinggi.
Dari penelitian Tri Susanti dan kawan-kawan tentang “Pola Aliran Banjir Berdasarkan Karakteristik DAS Lengayang Provinsi Sumatera Barat” (2014) menyebutkan, galodo merupakan peristiwa banjir dengan pergerakan massa material debris secara gravitasi. Aliran debris (debris flow) adalah aliran campuran antara air dengan sedimen konsentrasi tinggi, mengalir dengan membawa batu-batu besar dan batang-batang pohon.
Banjir terjadi disebabkan oleh alih fungsi lahan. Berkurangnya lahan hijau sebagai daerah tangkapan air hujan, menyebabkan infiltrasi air hujan yang berfungsi sebagai bentuk konservasi air tanah berkurang. Akibatnya, aliran limpasan permukaan meningkat dan puncak debit sungai juga meningkat. Peningkatan puncak debit sungai mengakibatkan limpasan ke beberapa ruas sungai yang relatif rendah. Limpasan tersebut dapat merusak lahan produktif dan pemukiman, bahkan seringkali timbul korban jiwa.