El Nino dan Ancaman Karhutla Masih Mengintai Indonesia
Selain menjadi sumber api langsung, aktivitas manusia juga melepaskan sejumlah besar karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), metana (CH4), oksidanitrat, nitrogen dioksida (NOx), dan partikulat yang bertindak sebagai rumah kaca yang telah dipantau oleh satelit beberapa tahun terakhir.
Peningkatan gas rumah kaca dan aerosol oleh aktivitas manusia (antropogenik) dapat menyebabkan perubahan suhu permukaan dan penerimaan curah hujan yang berakibat mempengaruhi potensi karhutla oleh faktor iklim.
Dalam penelitian lainnya yang dilakukan Afid Nurkholis dan kawan-kawan dari Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM), “Analisis Temporal Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997 dan 2015 (Studi Kasus Provinsi Riau)” menyebutkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terutama pada lahan gambut sering dialami Indonesia. Sepuluh tahun terakhir, Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal pencemaran udara akibat pembakaran hutan, di mana sebelumnya menempati urutan ke-25. Karhutla tahun 1997 merupakan yang terparah sepanjang sejarah Indonesia. Sementara itu, karhutla tahun 2015 yang juga cukup parah.
Sumatera merupakan pulau yang memiliki lahan gambut terluas di Indonesia (6,5 juta ha) dengan sebaran gambut ada di Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.
Menurut Tacconi dan C Boer dalam “Forestfire suppression in East Kalimantan Indonesia” (2002), tahun 1997/1998, di Indonesia terjadi kekeringan dan gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hampir di seluruh pulau Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi serta menelan biaya ekonomi sekitar USD 1.62 – 2.7 miliar.
Karhutla yang memicu kabut asap tebal mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatera dan Kalimantan sehingga mengganggu roda perekonomian masyarakat. Biaya pencemaran asap menelan kerugian sekitar US Dollar 674 – 799 juta dan terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar USD 2,8 miliar dollar. Bencana asap juga mempengaruhi kesehatan penduduk di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik.