
KINGDOMSRIWIJAYA – Anwar Bayu Putra satrawan Sumatera Selatan (Sumsel) yang juga Koordinator Satupena untuk Sumatera menulis di grup WA Satupena Sumsel pada Jumat (19/1) kabar duka: “Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun. Telah meninggal Abdul Hadi WM sekitar jam 03 dinihari. Semoga khusnul khotimah. Berita dari puteri almarhum, Gayatri”.
Kabar itu lalu ramai menjadi berita di banyak media online pada Jumat pagi itu, diantaranya Republika Online menulis dengan judul “Innalillahi, Budayawan-Penyair Abdul Hadi WM Meninggal Dunia”. Kepergian Abdul Hadi WM sastrawan, budayawan dan juga pendidik yang menulis puisi berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” adalah kehilangan yang sangat mendalam.
Mengenal Abdul Hadi WM selama ini melalui karya-karyanya yang bertebaran di media massa, seperti surat kabar dan majalah. Menurut penyair Tengsoe Tjahjono, berkenalan dengan Abdul Hadi melalui karyanya yang tersebar luas tersebut adalah sebuah interaksi literer, tidak bisa mengenal langsung tokohnya namun bisa mengenalinya dari karya-karyanya.
Interaksi literer dengan Abdul Hadi WM terjadi saat mahasiswa dengan membaca karyanya di surat kabar, majalah salah satunya majalah sastra dan budaya yang sangat berpengaruh yaitu majalah Horison. Majalah ini sudah almarhum atau tidak terbit lagi.
Ada banyak karya sastrawan yang bernama lengkap Abdul Hadi Widji Muthari yang bisa dibaca kembali dan menjadi hikmah bagi pembacanya dan menajdi pelajaran di lingkungan dunia pendidikan.
Abdul Hadi WM lahir di Sumenep, 24 Juni 1946 dan merupakan keturunan dari saudagar Tiongkok yang hijrah dan menetap di Sumenep. Ayahnya seorang muslim Tionghoa dan ibunya masih keturunan keluarga Keraton Surakarta.
Orang tuanya memiliki sebuah pesantren di kota kelahirannya, “Pesantren An-Naba”. Abdul Hadi menikah dengan Tejawati, dianugerahi tiga orang putri yang diberi nama Gayatri Widotami, Dian Kuswandari, dan Ayusa Ayuthaya.

Setelah menyelesaikan SMA di Surabaya Abdul Hadi pendidikan ke Fakultas Sastra, Universtas Gadjah Mada (UGM) sampai meraih gelar sarjana muda (1965—1967). Untuk pendidikan doktora; Abdul Hadi ke Fakultas Filsafat UGM (1968—1971). Dari UGM Abdul Hadi ke Bandung melanjutkan pendidikan antropologi budaya di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) (1971—1973) namun tidak selesai. Kemudian ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1973-1974).
Tahun 1991 Abdul Hadi pindah ke Jakarta dan menjadi penulis tamu serta dosen Sastra Islam di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, Penang.
Tahun 1992, Abdul Hadi WM mendapatkan kesempatan untuk mengambil gelar master dan doktor filsafat dari Universitas Sains Malaysia di Penang, Malaysia. Tahun 1997 ia meraih gelar doktor (Ph.D.) dengan disertasinya “Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh Hamzah Fansuri”. Disertas ini kemudian terbit menjadi buku dengan judul “Tasawuf yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri” (2001).
Abdul Hadi dikenal sebagai sastrawan, filsuf, dan budayawan dan tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah Universitas Paramadina, Jakarta, dosen luar biasa FIB Universitas Indonesia (UI), dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, The Islamic College for Advance Studies (ICAS) London, Kampus Jakarta.
Karya-karyanya yang telah terbit dalam bentuk buku, diantaranya Laut Belum Pasang (1971), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), kumpulan sajak yang berjudul Anak Laut Anak Angin (1984), Meditasi Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999), Modin Karok (1983), Islam Cakrawala Estetik dan Budaya (1999), Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (1999), Tasawuf yang Tertindas (2001), dan masih banyak lagi.
Abdul Hadi W.M. juga terkenal sebagai seorang editor buku, pengulas, dan penerjemah karya-karya sastra Islam dan karya sastra dunia. Sejumlah bukunya yang sudah terbit. Sastra Sufi: Sebuah Antologi (terjemahan dan esai, 1985), Ruba’yat Omar Khayyam (terjemahan dan esai, 1987), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-Bangsa Timur (terjemahan puisi dan pembahasan, 1986), Pesan dari Timur: Muhammad Iqbal (terjemahan dan esai, 1987), Rumi dan Penyair (terjemahan puisi dan esai, 1987), Faust I (terjemahan karya Gothe, 1990), Kaligrafi Islam (terjemahan karya Hasan Safi, 1987), Kehancuran dan Kebangunan (1987, terjemahan kumpulan puisi Jepang), Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (1995).

Abdul Hadi WM juga sebenarnya seorang wartawan atau jurnalis karena ia pernah bergabung dengan pers mahasiswa Gema Mahasiswa (terbitan UGM, 1967—1969), redaktur surat kabar Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Tengah di Yogyakarta (1969—1970), redaktur Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung (1971—1973), redaksi majalah Dagang dan Industri (IKADIN, 1979—1981), redaktur pelaksana majalah Budaya Jaya (1977—1978), pengasuh lembaran kebudayaan “Dialog” Harian Berita Buana (1978—1990)
Abdul Hadi juga diundang menjadi dosen Penulisan Kreatif di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta (1985-1990), dosen tamu Sastra dan Filsafat Islam di Universitas Sains, Malaysia (1991-1997).
Abdul Hadi WM adalah salah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang juga akademisi, seperti Kuntowijoyo di Universitas Gajah Mada (UGM), Budi Darma di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dulu IKIP Surabaya dan Sapardi Djoko Damono di Universitas Indonesia.
Pada Juni 2008 Abdul Hadi WM yang menjadi dosen tetap Universitas Paramadina, Jakarta dikukuhkan menjadi guru besar tetap untuk Filsafat Agama dan berhak menyandang sebutan “Profesor” di perguruan tinggi yang pernah dipimpin Anies Baswedan sebagai rektornya.
Penyair Penting & Sufistik
Dalam pelajaran sastra ada yang menyebut sastra sebagai cerminan dan ekspresi kehidupan masyarakat. Banyak pengarang untuk mengekspersikan dirinya melalui karya sastra, salah satunya adalah puisi.
Menurut Aziza Aulia Azzahra dalam “Analisis Struktural Puisi Sendiri Karya Abdul Hadi WM” (2022), puisi merupakan suatu karya yang terbentuk atas susunan kata penuh makna yang dibuat oleh penyair sebagai hasil penghayatan atau refleksi seseorang terhadap kehidupan terbentuk atas susunan kata penuh makna yang dibuat oleh terbentuk atas susunan kata penuh makna yang dibuat oleh penyair sebagai hasil penghayatan atau refleksi seseorang terhadap kehidupan melalui bahasa sebagai media pengungkapannya.
Dalam buku “Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang” yang terbit tahun 1984, Abdul Hadi WM menyatakan bahwa menulis puisi terutama adalah bagaimana menyelami jagad kecil ini secara kreatif. Selain itu, proses menulis puisi juga berusaha mencari getaran-getaran hidup di dalamnya dan mencoba berdialog dengan yang kekal dan menyatukannya dengan yang fenomenal.

Dalam sebuah wawancara tahun 1970 penyair WS Rendra menyatakan, penyair Abdul Hadi WM merupakan penyair penting sesudah generasi Taufiq Ismail. Menurut si Burung Merak julukan Rendra, bahwa penyair berbakat besar sesudah Taufiq Ismail adalah Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri.
Kemudian memang pernyataan itu terbukti bahwa kedua sastrawan ini memberi warna pada perkembangan puisi Indonesia sekitar tahun 1970-an. Abdul Hadi dengan puisi konvensional dengan gaya remang-remang, Sutardji dengan puisi konkret dan mantra yang kemudian berkembang sangat pesat pada dekade 1970-an.
Dalam sebuah jurnal ilmiah memuat hasil penelitian Sujarwoko, M.Shoim Anwar, Sempu Dwi Sasongko dan Uswatun Kasanah berjudul “Ekspresi Sufistik dalam Pemanfaatan Bentuk Puisi-Puisi Abdul Hadi WM” (2023) menulis, ada fenomena yang menarik dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM khususnya terkait dengan ekspresi sufistik dalam pemanfaatan bentuk.
Menurutnya, bentuk puisi-puisi Abdul Hadi W.M beragam, ada bentuk pantun, syair, puisi epik, puisi, haiku, dan bentuk puisi bebas. Hal tersebut terkait dengan sosok pribadi penyairnya yang memiliki kompetensi yang kompleks: berwawasan intelektual multidisiplin sekaligus manusia yang memiliki ambisi yang liar kegilaan terhadap kebebasan.
Pendapat tersebut bersesuaian dengan biografi Abdul Hadi WM. Dalam biografi yang ditulis:
“Hadi adalah sosok gabungan antara penyair dan sarjana. Gabungan antara disiplin dan ketertiban dengan gairah dan kegilaan. Gabungan peminat dan penikmat Timur maupun Barat. Gabungan jiwa yang Islam dan sikap keterbukaan. Esai-esai dan penelitiannya yang mendalam tentang sastra klasik Nusantara serta renungan-renungannya mengenai dan filsafat Timur menempatkan dirinya sebagai ilmuwan yang terkemuka di bidangnya. Di sisi lain gerakan puisi sufi yang dicetuskannya 30 tahun lalu masih kuat membekas pada generasi para penyair Indonesia hingga hari ini”.
Jika kita mencari definisi puisi sufi, maka jawabannya tidak akan lepas dari sastra sufistik. Sastra sufistik sendiri adalah bagian dari kajian akademik seorang Abdul Hadi WM yang bisa dipelajari dan dibaca dari buku yang ditulisnya berjudul “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik”.

Abdul Hadi WM memberi definisi sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraan, penggunaan lambang, dan metafora. Sastra sufistik biasanya mengandung nilai-nilai tasawuf dan pengalaman tasawuf serta mengungkapkan kerinduan sastrawan terhadap Tuhan, hakikat hubungan makhluk dengan khalik, dan perilaku yang tergolong dalam pengalaman religius.
Jadi, sastra sufistik mempunyai pertalian yang kuat dengan tasawuf dan sastra sufi. Keduanya itu merupakan sumber ilham sastrawan dalam menciptakan karyanya.
Dalam buku yang terbit tahun 1999 Abdul Hadi WM menulis, “Sastra sufistik dapat juga disebut sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan yang transenden. Dan pengalaman itu berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (transenden, sekaligus imanen)”.
Abdul Hadi juga menuliskan, bahwa kecenderungan sastra sufistik di Indonesia mulai semarak pada dasawarsa 1970 hingga tahun 1980-an. Kecenderungan sastra sufistik itu mula-mula dipelopori oleh Danarto dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Kembali ke akar dan kembali ke sumber maksudnya adalah kembali ke hal yang bersifat azali, tiada lain hanya Tuhan sebagai kausa prima.
Pengikut gerakan itu menjadikan para sufi, seperti Al Hallaj, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Jalaludin Rumi. Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal, bahkan Sunan Bonang dan Syeh Siti Jenar, sebagai sumber penulisan karya sastra di Indonesia. Selain itu, mereka juga menghubungkan diri dengan sumber agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk spiritualitasnya. Agama tidak mesti dipahami sebagai doktrin ketuhanan dan teologi, tetapi juga sebagai sistem yang mencakupi keseluruhan aspek kehidupan.
Menurut Puji Santoso dalam “Sastra Sufistik: Sarana Ekspresi Asmara Sufi Sastrawan” (2018), beberapa sastrawan Indonesia modern yang menulis sastra sufistik, antara lain, Danarto dengan kumpulan cerpennya, Godlob, Adam Makrifat, dan Berhala; Kuntowijoyo dengan novelnya, Khotbah di Atas Bukit, dan kumpulan sajaknya, Isyarat, dan Suluk Awang Uwung; M. Fudoli Zaini dengan novelnya, Arafah; Sutardji Calzoum Bachri dengan kumpulan puisinya, O Amuk Kapak; Motinggo Busye dengan novelnya, Sanu Infinita Kembar; serta Abdul Hadi WM. dalam kumpulan sajaknya, Tergantung pada Angin dan Anak Laut Anak Angin, terutama sajaknya, “Tuhan, Kita Begitu Dekat”.

Sementara itu A. Teeuw dalam “Sastra Indonesia Modern II” (1989) menulis, bahwa tema utama dari sajak-sajak Abdul Hadi WM adalah kematian, kefanaan hidup, dan kesunyian maupun waktu yang menjadi kaki tangan maut. Tema-tema itu sangat terasa melalui banyak halaman karya-karyanya. Sampai akhir hayatnya Abdul Hadi WM telah membuktikan diri sebagai seorang penyair Indonesia modern yang memiliki obsesi yang cukup intens terhadap tema-tema religiositas, alam, dan manusia dalam sajak-sajak yang diciptakan selama ini.
Judul puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” sudah mengimplikasikan adanya hubungan kedekatan antara Tuhan dan manusia. Menurut Puji Santoso, kalimat yang menjadi judul sajak itu juga menunjukkan adanya pernyataan atau kesaksiaan manusia atas keberadaannya dengan Tuhan. Sebagai manusia yang sudah memiliki derajat insan kamil, sudah sampai pada tahap makrifat, aku dapat menyaksikan kehadiran Tuhan yang berada di dekatnya.
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Kini Abdul Hadi WM telah pergi menemui Tuhannya. Namun ada banyak hikmah dan pelajaran yang ditinggalkannya. Salah satunya puisi ini:
“Jika hati kami terlalu liat dan keras
Lembutkan dan rubah jadi lantunan merdu suara Daud
Jika lembek, tempalah jiwa kami seperti Kau tempa jiwa Musa
Jika redup, nyalakan lagi suluh terang Rumi di rumah kami
Jika ciut, karuniai kami ketabahan Ayub dan Yusuf
Berpangku tangan bukan kebiasaan orang beriman”. ( Abdul Hadi WM, “Doa”) (Maspril Aries)


