Mengenang Kepergian Aktivis Bambang Ekalaya, Juga Dedi Mawardi dan Edwin Hanibal
KAKI BUKIT – Berita duka itu datang pada Jumat malam, 22 Desember 2023 atau dalam hitungan jam menjelang debat calon wakil presiden (cawapres) nongol di layar kaca televisi.
Di laman media sosial terbaca kabar duka kepergian seorang sahabat lama Bambang Ekalaya yang kerap disapa “BE”. “Telah berpulang ke Rahmatullah ayahanda, Uwak, kakak, sahabat, Bambang Ekalaya bin Muhammad Sidik, hari ini Jum'at, 22 Desember 2023 di rumah duka Perumahan Bumi Sawangan Indah, Depok, Jawa Barat. Kiranya ada salah atau pun kekhilafan almarhum semasa beliau hidup, mohon dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya”.
Kabar duka itu membuat saya kaget. Saya terkenang pada dua teman aktivis advokat LBH Bandarlampung yang sudah lebih dahulu berpulang ke Rahmatullah. Kepergian BE menyusul temannya, Dedi Mawardi dan Edwin Hanibal yang lebih dulu kembali keharibaan Illahi.
Edwin Hanibal yang sempat menjabat Ketua KPUD Lampung meninggal dunia 12 Januari 2021 dan Dedi Mawardi Direktur LBH Bandarlampung pertama meninggal pada 7 Juli 2021. Keduanya meninggal di Bandarlampung dan BE juga dikebumikan di Lampung.
Bagi saya mengenang persahabatan dengan BE adalah bagian dari gerakan perjuangan dan perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim bersama teman-teman aktivis khususnya mereka yang aktif berkiprah di LBH Bandarlampung yang kerap membangun koalisasi dengan aktivis LBH Palembang dan LBH Aceh. Dalam koalisi perjuangan itu ada nama seperti Munarman, Nur Kholis atau Dhaby K Gumaira dan lainnya.
Pertemuan kami terakhir kali sudah berbilang tahun. Lupa tahunnya tapi ingat tempatnya pada sebuah kedai pempek di Palembang. Waktu itu BE datang ke Palembang bersama Fikri Yasin dan temannya lainnya. Kami bercerita tentang kenangan gerakan perjuangan sejak masa mahasiswa di bawah cengkraman rezim Orde Baru sampai gelombang reformasi tiba membuat Indonesia menuju demokratis.
Saat saya bertugas di Jakarta, kami kerap bertemu tentunya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta di Jalan Diponegoro. Di situ kami bertemu dengan banyak aktivis pergerakan pada zamannya, tentu bertemu dengan Dedi Mawardi dan Edwin Hanibal, juga ada Watoni Nurdin, Sahzan Sayafri dan Fenta. Nama-nama itu yang masih lekat dalam ingatan.
Menjelang Orde Baru (Orba) tumbang saat Andi Arief aktivis SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) tengah diburu intel dan aparat militer penguasa Orba, BE berperan menyembunyikan Andi Arief, dia juga menjadi penghubung kontak saya dengan Andi Arief.
Jangan dibayangkan zaman itu seperti sekarang ada telepon seluler (ponsel) sebagai penghubung. Berkat bantuan BE saya dua kali bisa bertemu dan wawancara Andi Arief yang sedang bersembunyi, salah satunya bertemu dengan Andi Arief di kawasan Blok M.
Gara-gara berita yang saya tulis berisi wawancara dengan Andi Arief saya pun menjadi bagian yang dicari para intel. Pemimpin Redaksi Republika waktu itu Parni Hadi memanggil saya ke ruang kerjanya. Pesannya waktu itu, “Maspril kamu mengungsi dulu dari tempat kos, kamu sedang dicari intel. Tadi ada yang telpon saya menanyakan berita berisi wawancara dengan Andi Arief”.
Saya mengungsi dari tempat kos di dekat Kampus Universitas Nasional (Unas) Jalan Sawo Manila, Pejaten ke tempat kos Hersubeno Arief Redaktur Republika sekitar sepekan dan sempat tidak liputan, sambil menunggu situasi aman.
Kilas balik pada perkenalan dengan BE terjalin berkat Dedi Mawardi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yang selesai kuliahnya pulang dari Yogyakarta ke Bandarlampung. Dedi yang aktivis mahasiswa di Yogyakarta, menjadi pengacara kemudian menjadi pionir berdirinya LBH Bandarlampung yang berawal dari “Pos LBH Bandarlampung” saat itu masih dibawah koordinasi LBH Palembang yang dipimpin Ibu Sakurayati.
Dedi Mawardi menghimpun sejumlah aktivis mahasiswa salah satunya Bambang Ekalaya dan mantan aktivis mahasiswa yang sudah meraih gelar sarjana untuk berjuang bersama-sama mewujudkan berdirinya LBH Bandarlampung. Saat itu ada Abi Hasan, Edwin Hanibal, Watoni Nurdin, Sahzan Syafri, Bambang Ekalaya dan Fenta serta beberapa orang lainnya.
Berbeda dengan yang lainnya berlatar belakang pendidikan dari fakultas hukum dan BE dari Fisip Universitas Bandar Lampung (UBL), BE tidak pernah menjadi advokat, tapi dia volunter dan pendamping perjuangan di lapangan, bukan di ruang sidang pengadilan.