Perjalanan Guru Besar Hukum Eddy Rifai dari Hukum Pers ke Cyber Law
“Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali” (Iwan Fals, “Ujung Aspal Pondok Gede”)
KAKI BUKIT – Hari ini, 18 Agustus 2023 kabar duka datang mengabarkan kepergian seorang sahabat Prof Dr Eddy Rifai SH MH guru besar hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila). Eddy Rifai yang lahir di Palembang pada 12 September 1961 meninggalkan alam fana ke haribaan Illahi pada 17 Agustus 2023 pukul 23.50 WIB di Rumah Sakit Urip Sumohardjo, Bandarlampung.
Pertama kali ini mengenalnya sekitar tahun 1985 sebagai dosen muda yang aktif mengelola pers kampus di Unila yang waktu itu bernama Cendekia (lalu berganti nama menjadi Teknokra sampai kini). Saat itu saya sebagai seorang mahasiswa yang baru duduk pada semester pertama di Program Studi Ilmu Pemerintahan mengikuti seleksi tes calon reporter Cendekia.
Modal ikut test bersaing saat itu adalah karena saya sejak SMA dan pada semester pertama menjadi mahasiswa Unila, tulisan opini dan cerpen saya terbit di harian Lampung Post (koran terbesar di Lampung pada masa itu). Akhirnya dinyatakan lolos dan harus mengikuti masa orientasi dengan mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat dasar.
Sejak saat itu persahabatan dengan Eddy Rifai mulai terbangun termasuk dengan beberapa teman lainnya diantaranya Hersubeno Arief yang menjabat Pemimpin Redaksi, Hendra Caya yang menjabat Pemimpin Usaha dan beberapa redaktur atau reporter lainnya seperti Machsus Thamrin (almarhum), Hermansyah, Hapris Jawodo, Parsah Jamseri, Eka Susanto, Syahran Lubis, Husna Purnama (yang kemudian menjadi istri Eddy Rifai) dan beberapa reporter junior. Oleh para juniornya Eddy Rifai kerap disapa “Aak”, sapaan ini juga menular ke para kolega dan mahasiswanya.
Salah satu kebiasaan yang membuat persahabatan semakin kental di antara kru Teknokra adalah bekerja malam hari (lembur) alias begadang usai siang hari kuliah, untuk mengejar deadline naik cetak surat kabar mahasiswa (SKM) yang pada masa tahun 80-an menjadi SKM dengan oplah terbesar di Indonesia sebanyak 10.000 eksemplar dengan format tabloid 12 halaman.
Eddy Rifai dengan kemampuan menulis yang sudah di atas kami para mahasiswa karena opini hampir setiap pekan nongol di Lampung Post mengajar para juniornya tentang penulisan berita yang baik dan benar juga tempat berguru menulis opini. Pada masa itu, masih langka di kalangan dosen menulis di media massa cetak, dan Eddy Rifai salah satu yang produktif. Tergolong multi talenta, menulis karya non fiksi dan menulis karya fiksi juga oke.
Sebagai akademisi yang menekuni hukum pidana, Eddy Rifai tergolong penulis produktif, tulisan opininya tentang hukum pada tahun 80-an sampai 90-an tersebar di media massa lokal dan nasional. Beberapa tulisannya mampu menembus surat kabar terbesar Indonesia masa itu, yakni Harian Kompas. Saat menyelesaikan kuliah S2 di Semarang pada Program Studi Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana KPK Universitas Indonesia (UI) – Universitas Diponegoro (Undip) tulisannya kerap mengisi rubrik opini surat kabar terbesar di Jawa Tengah, Harian Suara Merdeka.
Salah satu skill Eddy Rifai yang tidak dimiliki reporter Teknokra lainnya adalah mencetak foto hitam putih atau BW (black and white). Masa itu hanya ada dua orang yang memiliki kemampuan tersebut, satunya Iwan Suwandi mahasiswa FKIP. Dengan Eddy Rifai, saya sempat berlajar mencetak foto dengan menggunakan teknik kamar gelap yang dibuat dengan menggunakan bangunan kotak dari triplek di dalam ruang redaksi di lantai dua gedung BKK (Badan Koordinasi Mahasiswa) yang kini berubah nama menjadi gedung pusat kegiatan mahasiswa.
Interaksi dengan Eddy Rifai tidak hanya terjadi pada lingkup SKM Teknokra, dalam kegiatan Fakultas Hukum, Eddy Rifai yang dikenal sebagai dosen yang dekat dengan mahasiswa selalu melibatkan mahasiswa dalam berbagai kegiatan dari seminar sampai urusan seni.
Dalam beberapa kali seminar di lingkungan Fakultas Hukum, Eddy Rifai yang selalu menjadi panitia kerap melibatkan saya sebagai bagian dari panitia, khususnya panitia yang mempersiapkan tata letak panggung dan ruang seminar. Maka saya dengan seorang teman RB Sabtuhari dari Fakulta Hukum kerap kebagian tugas membuat backdrop atau spanduk latar belakang panggung.
Masa itu (tahun 1980–1990-an) membuat backdrop jangan dibayangkan semudah sekarang dengan mesin cetak. Dulu harus membuat hurup-huruf di atas karton lalu disablon dengan cat atau menggunakan styrofoam sebagai bahan baku membuat huruf. Lalu menata taman panggung seminar.