Peternak Bahasa, Pabrik Kata-Kata dan Ekonomi Kreatif
Suminto A. Sayuti seorang Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pernah menulis artikel berjudul “Menjadi “Peternak” Bahasa” (2019). Menurutnya, Jauh sebelum istilah industri atau ekonomi kreatif lazim dipergunakan, upaya pemberdayaan bahasa secara kreatif sebenarnya sudah dimulai. Hanya saja, kesadaran terhadapnya sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis masih belum tumbuh di kalangan masyarakat.
Menurutnya bahasa sebagai “bahan dasar” karya kreatif tampak jelas dalam teks-teks tertulis yang berupa teks sastra, seperti puisi, fiksi, dan repertoir, termasuk lirik lagu, ataupun teks-teks yang “beraroma” sastra, seperti tampak pada aspek verbal iklan-iklan berbagai produk.
Dalam kaitan langsung bahasa dengan terminologi industri/ekonomi kreatif, Suminto A. Sayuti memberi contoh cenderamata yang sangat dikenal di Yogyakarta, yakni produk fesyen salah satunya kaos “Dagadu.” Kata “Dagadu” menjadi grafis yang dibuat pada kaos oblong, topi, gantungan kunci, dan gambar tempel (stiker) serta pernak-pernik lain.
Untuk menunjukkan lokalitas dan identitas asal muasal cenderamata itu berasal, setelah kata Dagadu ditambahkan kata “Djokdja” yang menggunakan ejaan lama Bahasa Indonesia. Kini Dagadu sudah menjadi salah satu ikon cenderamata yang khas Yogyakarta.
Pada industri fesyen “Dagadu Djokdja” menurut Guru Besar UNY telah menunjukkan bahwa “bahasa” dapat dijadikan basis di satu sisi, ataupun daya dukung pada sisi lain, bagi produk-produk industri kreatif. Sebiji kosa kata yang ada dalam khasanah bahasa slang anak-anak muda Yogyakarta, “dagadu,” ternyata telah dan bisa “diternakkan” hingga beranak pinak, dan bahasa pun menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk industri kreatif.
“Menjadi basis industri kreatif ketika bahasa menjadi ‘bahan dasar’ yang diolah secara kreatif. Menjadi daya dukung ketika bahasa menjadi penyerta yang inheren dalam produk tertentu,” tulisnya.
Jika di Yogyakarta ada Dagadu maka di Bali juga ada industri kreatif sejenis yang bernama kaos “Joger.” Di Palembang kita mengenal adanya “Kaos Nyenyes”. Joger hadir dengan motto “'Pabrik Kata-Kata Joger” dan Nyenyes dengan motto “Kaos Kito Galo.” Di Bandung ada “Distro Sunda” dan “Bandung Oblong”.
Pada produksi kaos atau fesyen ekonomi kreatif tersebut kerap menemukan bahasa yang digunakan dalam produk-produk tersebut adalah pemanfaatan permainan bahasa. Permainan bahasa dalam istilah ilmu linguistik merupakan bentuk penggunaan bahasa yang tidak semestinya.
Mari mencoba menjadi “peternak bahasa” dengan membangun “pabrik kata-kata” dan permainan bahasa yang bisa memberi nilai manfaat dan nilai ekonomi melalui ekonomi kreatif.
Kini saatnya selain ekonomi kreatif yang terus berkembang, nilai bahasa Indonesia pada industri kreatif tersebut harus terus ditingkatkan. Daya saing produk ekonomi kreatif di pasar dalam negeri dan luar negeri yang meningkat harus seiring dengan meningkatnya nilai bahasa Indonesia yang ditandai dengan terus tumbuhnya kesadaran yang melahirkan sikap kesetiaan, kesadaran, pemertahanan, serta rasa percaya diri dalam menggunakan dan memilih bahasa Indonesia untuk pelbagai bidang ekonomi kreatif.
Melalui Niaga Bahasa mari meningkatkan kompetensi anak muda negeri ini dalam menggiatkan ekonomi kreatif berbasis bahasa dan sastra. Pada era milenial ini bahasa tidak hanya menjadi sarana komunikasi tetapi bahasa bisa menjadi pemicu multisektor kehidupan.
Menurut Reza Amarta Prayoga dan Tri Amanat dalam “Potensi Bahasa Daerah Sebagai Komoditas Pengembangan Industri Kreatif (Studi Kaos Kapuyuak)” (2020), bahasa juga menjadi cermin suatu budaya yang dapat memberikan dampak bagi kehidupan sosial.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 telah memberikan penegasan tentang penegasan fungsi bahasa. Artinya bahasa dapat menjadi fungsi identitas (budaya, fungsi diplomasi, fungsi pemersatu, fungsi komunikasi penghubung lintas internasional (penginternasional bahasa), fungsi diplomasi, fungsi pendidikan, dan fungsi ekonomi. (maspril aries)