Mengenal Jurnalisme Profetik (Bagian 2 - Habis)
KAKI BUKIT – Di Indonesia tidak banyak literatur atau buku tentang jurnalisme profetik dalam bahasa Indonesia. Salah satunya adalah buku yang ditulis wartawan senior Parni Hadi. Wartawan yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Republika tersebut menerbitkan buku berjudul “Jurnalisme Profetik, Pergulatan, Teori, Aplikasi” buku ini diterbitkan Dompet Dhuafa pada Maret 2014.
Dalam berbagai karya ilmiah buku ini kerap dari rujukan bagai mereka yang menulis atau meniliti tentang jurnalisme khususnya jurnalisme profetik.
Dalam buku setebal 278 halaman menurut Parni Hadi yang juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi LKBN Antara, buku berjudul “Jurnalisme Profetik, Pergulatan, Teori, Aplikasi” merupakan hasil pergulatan pemikiran dan perenungannya sejak ia menapaki karir jurnalistik awal 1973 hingga kini. “Untuk apa semuanya ini?” sebuah pertanyaan yang sering muncul dan berkelindan dalam benak wartawan senior yang kerap disapa “PH.”
Dari perjalanan karirnya sebagai seorang wartawan, PH menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. “Menjadi wartawan sebagai ibadah.”
Kata profetik sendiri berasal dari bahasa Inggris “prophetic” yang berarti kenabian. Jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama.
Mengutip Imo’atus Syaripah dalam “Menggagas Jurnalisme Profetik dalam Infotainment, Studi pada Program Entertainment News Net” (2019), profetik merujuk pada dua misi, yaitu seseorang yang menerima wahyu, diberi agama baru da diperintahkan mendakwahkan pada umatnya atau disebut rasul (messenger), sedang seseorang yang menerima wahyu berdasarkan agama yang ada dan tidak diperintahkan untuk mendakwahkannya disebut nabi (prophet). Jadi jurnalisme propeftik adalah jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dalam semua agama.
Tugas para nabi dan rasul, menurut Alquran, adalah untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar. Tugas itu sama dengan apa yang diemban para wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat universal.
Menurut Parni Hadi, pada dasarnya para wartawan adalah pewaris dan penerus tugas kenabian. Nabi dan rasul menjalankan tugas atas perintah dan petunjuk dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui proses atau laku spiritual. Nabi dan rasul melaksanakan perintah Allah dengan kepatuhan penuh, sukarela, suka cita dan penuh cinta kepada sesama sebagai ibadah kepada Allah, Sang Maha Pecinta.
Jurnalisme profetik adalah proses mencari, mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi dengan melibatkan olah fisik, intelektual dan spiritual sejak awal untuk melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi.
PH Juga menegaskan bahwa jurnalisme profetik tidak berarti lembek atau toleran terhadap kejahatan kepada kemanusiaan, termasuk korupsi. Justru, jurnalisme profetik menyerukan perang kepada korupsi dengan menggalakkan “investigative reporting.”
Dalam buku “Jurnalisme Profetik, Pergulatan, Teori, Aplikasi” Parni Hadi menyebutkan ada 7 fungsi jurnalisme profetik, yaitu memberi tahu (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertaint), memberi advokasi (to advocate), mencerahkan (to enlighten), memberi inspirasi (to inspire) dan memberdayakan (to empower).
“Wartawan tidak cukup hanya sebagai pelapor, tetapi juga pelopor, juga sebagai inisiator, moderator, bahkan sponsor, tetapi tidak menjadi provokator,” tulis Parni Hadi.
Menurut Asep Syamsul M Romli dalam “Jurnalistik Dakwah : Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam” (2003), jurnalisme profetik merupakan bentuk jurnalisme ysng tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara lengkap, jelas, jujur serta aktual tetapi juga melakukan prediksi serta petunjuk ke arah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ia menjadi jurnalisme yang secara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai-nilai dan cita Islam.
Mengutip wartawan senior dan dosen jurnalistik Dhimam Abror Djuraid dalam artikelnya berjudul “Jurnalisme Profetik Husnun N. Djuraid,” (2019), membandingkan jurnalisme profetik dengan praktek jurnalisme di Amerika Serikat (AS).
Menurutnya, di Amerika Serikat, wartawan menjalankan tugasnya untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu people’s right to know, sebagai bagian dari proses demokrasi. Wartawan AS (dan Eropa) menjalankan profesinya sebagai bagian dari pengamalan hak konstitusi, terutama First Amendment dalam konstitusi AS, yaitu memenuhi hak publik untuk mendapatkan kebebasan berekspresi dan memperoleh berita.
Jurnalis dan media di Barat merupakan bagian dari the fourth pillar of democracy, pilar keempat demokrasi dalam sistem Trias Politika Montesquieu untuk memastikan terjadinya check and balance antara tiga pilar: eksekutif, legislatif, dan judikatif. Media menjadi watch dog alias anjing penjaga untuk menggonggongi penyimpangan kekuasaan, abuse of power, dari tiga lembaga itu.
Dalam hal ini, tujuan jurnalisme Barat adalah profan, duniawi semata karena hanya didasari pandangan materialisme dan rasionalitas.
Praktek jurnalisme di AS dan Eropa tersebut sesuai dengan pernyataan Janet E. Steele, profesor jurnalistik dari George Washington University, dalam bukunya berjudul “Mediating Islam Jurnalisme Kosmopolitan di Negara_engara Muslim Asia Tenggara” (2018).
Janet E. Steele yang meraih gelar Ph.D dari Johns Hopkins University, menyimpulkan bahwa jurnalis Barat mempunyai tujuan yang profan, sedangkan jurnalis Indonesia dan Malaysia umumnya mempunyai tujuan transendental, ukhrawiah.
Menurut Steele, motivasi jurnalis AS yang paling utama adalah pemenuhan dan pelaksanaan hak-hak demokrasi. Sedangkan wartawan muslim di Indonesia dan Malaysia menemukan motivasinya untuk menjalankan peran utama sebagai umat terbaik ’’khairu ummat’’ dan menerapkan amar makruf nahi mungkar.
Apa yang disampaikan Hadi Prayogo dalam disertasinya (pada bagian pertama tulisan ini) dapat disimpulkan bahwa genre jurnalisme profetik adalah jawaban dari kegelisahan yang terjadi pada lingkup media massa saat ini di tengah gempuran gencar media sosial.
Wartawan kini menghadapi tantangan diantara maraknya berita hoaks dan fake news, yang tidak mendukung nation and character building justru lebih memilih memprovokasi publik menjadi individualistik, konsumtif dan agresif berujung pada konflik SARA (Suku Agama, Ras dan Antar golongan). (maspril aries)