Redenominasi Bukan Sanering (Bagian 2 - Habis)
KAKI BUKIT – Rencana redenominasi walau baru sebatas wacana akan memicu terjadinya pro dan kontra. Menurut Johan Lianto dan Ronald Suryaputra dalam “The Impact of Redenomination in Indonesia from Indonesian Citizens’ Perspective” (2012), sebab banyak masyarakat menganggap bahwa redenominasi sama dengan sanering.
Anggapan itu adalah salah persepsi di tengah masyarakat tentang “redenominasi” dan “sanering.” Atau cerita masa lalu tentang sanering masih terus membekas dalam benak masyarakat? Dari pengalaman sanering masa lalu yang dirasakan para pelaku usaha masih memberikan trauma sampai kini.
Jika pemerintah ingin melakukan redenominasi maka sosialisasi harus gencar dilakukan. Harus disosialisasikan bahwa redenominasi tidak sama dengan sanering karena redenominasi tidak akan mengurangi daya beli.
Sanering adalah pemotongan nilai uang sekaligus mengurangi daya beli terhadap barang dan jasa. Sanering terjadi pada saat kondisi perekonomian di suatu negara tidak sehat.
Sosialisasi yang sederhana bisa dilakukan dengan mengajak masyarakat merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa arti dari kata “redenominasi” dan “sanering” berbeda. Dalam KBBI tertulis “re.de.no.mi.na.si” artinya penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya dan “sa.ne.ring” artinya pemotongan uang.
Istilah Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan atau reorganisasi. Dalam ilmu ekonomi, sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga sehingga daya beli masyarakat menurun. Atau sanering adalah kebijakan penghilangan angka nol pada mata uang, namun pemotongan tersebut tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Indonesia pernah melakukan sanering pada masa Orde Lama, tahun 1950 untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang terpuruk antara lain uutang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Kebijakan sanering waktu itu dikenal dengan sebutan “gunting Syariffuddin.” yang kemudian dilanjutkan Pemerintah pada tahun 1959 dan terakhir pada tahun 1965.
Waktu itu pemerintah memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu, yaitu uang pecahan Rp500 yang bergambar macan dan Rp1.000 bergambar gajah pada tanggal 24 Agustus 1959.
Nilai masing masing diturunkan hingga tinggal 10 persennya saja.Uang Macan yang semula mempunyai nilai Rp500 berubah menjadi Rp50 sedangkan uang gajah yang semula Rp1.000 berubah menjadi Rp100. Dalam prakteknya sanering rupiah adalah pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Dalam sejarah keuangan, Indonesia pada masa awal kemerdekaan tahun 1945 nilai mata uang rupiah memiliki nilai yang hampir seimbang dengan dollar AS, yaitu Rp 1,88 per dollar AS. Lalu tanggal 7 Maret 1946 nilai pupiah pertama kali menurun sebesar 30 persen menjadi Rp 2,65 per dollar AS.
Tahun 1950 pemerintah melakukan sanering dari pecahan Rp5 ke atas, sehingga nilainya menjadi setengah dari nilai semula. Kemudian sanering kedua berlanjut pada tahun 25 Agustus 1959 pemerintah kembali melakukan pemangkasan nilai rupiah.
Penelitian Andika Pambudi berjudul, “Penentu Keberhasilan Redenominasi Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental” (2014) menjelaskan, tingkat inflasi yang tinggi akan berdampak pada pelemahan nilai mata uang.
Hal ini terlihat pada tahun 1960-an Indonesia mengalami hiperinflasi yang sangat tinggi yang puncaknya yaitu tahun 1966 sebesar 1136 persen. Tahun 1971 nilai rupiah terdepresiasi hingga mencapai Rp415 per dollar AS (World Bank, 2012)