Perbudakan Modern dan Sejarahnya (Bagian - 2)
KAKI BUKIT – Di Inggris atau di Eropa, perbudakan diawali dengan adanya penaklukan negara Inggris ke beberapa negara di luar Benua Eropa. Kasus perbudakan pertama diketahui terjadi di masyarakat Sumeria, yang sekarang adalah Irak, lebih dari lima ribu tahun yang lalu. Kemudian perbudakan terjadi pada masyarakat Cina, India, Afrika, Timur Tengah dan Amerika.
Menurut Henny Nuraeny, perbudakan berkembang, seiring dengan perkembangan perdagangan dengan meningkatnya permintaan akan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-barang keperluan ekspor. Pada masa itu perbudakan merupakan keadaan umum yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktek jahat atau tidak adil.
Kemudian kampanye anti perbudakan dan perdagangan manusia pertama kali juga lahir di Eropa dan Amerika, dengan melahirkan beberapa konvensi anti perbudakan dan eksploitasi tenaga manusia, yang kemudian berkembang ke negara-negara lainnya di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
Di Indonesia perbudakan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Perbudakan sudah dimulai sejak tahun 1854 ketika pemerintah (Raja) dan Parlemen Belanda mengundangkannya dalam Wet (Undang-Undang) Belanda No. 2 Tahun 1854 (Staatblad No.2 Tahun 1855) yaitu Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands – Indie (RR) yaitu dalam Pasal 169 yang menentukan paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda sudah harus dihapus total.
Dalam prakteknya pemerintah kolonial di Hindia Belanda masih melaksanakan perbudakan walaupun dengan alasan-alasan politis tertentu. Salah satu alasan pemerintah kolonial masih mempertahankan adanya perbudakan, karena wilayah Hindia Belanda adalah negeri jajahan, dimana pada negaia jajahan menerapkan sistem hukum yang berlaku harus bersifat memaksa dan mengatur agar stabilitas di negara jajahan tetap berjalan.
Saat ini perbudakan modern tersebut adalah TPPO yang pelakunya bisa perseorangan, kelompok, korporasi, juga ada dilakukan oleh keluarga (orang tua/saudara kandung), kerabat, teman, atau tetangga dari korban. Kepada korban TPPO, trafficker sangat mudah memperdayanya, korban sering mendapat perlakuan kejam, penderitaan, bahkan tidak sedikit yang mengalami kekerasan dan ancaman.
Menurut E Sulaksono dalam “Disharmoni Hak Migran di Wilayah Perbatasan Berimplikasi Kejahatan Perdagangan Manusia di Luar Negeri” (2016), pelaku kejahatan TPPO juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan ke dalam bentuk baru yang dikenal dengan istilah perdagangan orang atau Human Trafficking/ Trafficking in Persons.
Perbudakan dan perdagangan orang menurut Dewi Asri Puanandini dalam “Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang Pekerja migran Indonesia” (2020), “Merupakan kegiatan yang direncanakan dengan baik untuk menghasilkan keuntungan ekonomi yang diharapkan serta dikelola oleh organisasi kriminal dengan didukung oleh para oknum pemerintahan.” (maspril aries)