Karhutla 1997/1998 Terparah di Indonesia (Bagian 2 - Habis)
KAKI BUKTI – Tahun 1997/1998 Indonesia kembali terjadi kekeringan dan gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan hampir di seluruh pulau Sumatera dan Kalimantan. Akibatnya terjadi degradasi hutan dan deforestasi yang menelan kerugian ekonomi sekitar 1.62 – 2.7 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Afid Nurkholis dan kawan-kawan dari Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM) dalam penelitian, “Analisis Temporal Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997 dan 2015 (Studi Kasus Provinsi Riau)” mencatat, akibat adanya kebakaran pada tahun 1997 Indonesia menghasilkan emisi CO2 sebesar 0,81—2,5 Giga Ton. Nilai tersebut mendekati 13—40 persen total emisi CO2 per tahun di dunia. Indonesia pun terpajan oleh asap.
Penelitian ini juga membandingkan dampak kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 dan 1997. Hasilnya, karhutla tahun 1997 jauh lebih parah dilihat dari luasan area terbakar sebesar 51.255 hektar, kerugian ekonomi mencapai 4,4 miliar dolar AS, gangguan pernapasan dialami 20 juta orang, pencemaran lingkungan terutama udara, gangguan transportasi, hingga gangguan stabilitas hubungan politis. Kebakaran hutan tahun 1997 di menjadi sejarah kebakaran terparah yang pernah terjadi di Indonesia.
Kabut asap yang terjadi kali ini melumpuhkan transportasi di beberapa daerah yang mengakibatkan bandar udara (bandara) yang ada di pulau Sumatera dan Kalimantan ditutup, pelayaran di sungai dan laut juga menghentikan aktivitasnya.
Sementara biaya kerugian akibat pencemaran asap menurut T Taconi dalam “Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan” (2003) menelan kerugian sekitar 674 – 799 juta dolar AS dan terkait dengan emisi karbon kerugian terhitung sekitar 2,8 miliar dolar AS.
Bencana kabut asap tersebut juga mempengaruhi kesehatan penduduk di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik.
Walau setiap musim kemarau tiba dan selalu membuat terjadinya karhutla, namun yang terbesar berikutnya terjadi pada 2015. Kebakaran hutan dan lahan terjadi pada September - November 2015. Karhutla kali ini sama seperti tahun tahun 1997, disebabkan oleh adanya anomali iklim yaitu fenomena El Nino di Samudera Pasifik yang menyebabkan terjadinya kekeringan di Indonesia.
Pada tahun 2015 kabut asap berakibat pada jarak pandang hanya sekitar 200 - 500 meter, selain mengganggu transportasi darat, udara, dan laut juga memicu protes dari negara tetangga Singapura dan Malaysia. Serta dampak pada kesehatan gangguan ISPA terjadi akibat terpajan oleh kabut asap.
Menurut hasil penelitian Guido van Der Werf, peneliti dari Universitas Amsterdam, besar emisi karbon yang dihasilkan pada karhutla 2015 mencapai 1 miliar ton, di mana setiap harinya memancarkan emisi sebsar 15-20 juta ton. Emisi ini lebih besar dibandingkan dengan emisi karbon yang dikeluarkan oleh Jerman dan Amerika Serikat dalam setahun yaitu 14 juta ton per hari.
Akibat karhutla di Kanada yang memici terjadinya kabut asap di negara tersebut yang juga di-“ekspor” ke negara tetangganya Amerika Serikat, berapa besar emisi karbon yang dihasilkan? Saat ini belum ada data dan penelitian.
Yang pasti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dimana pun terjadi termasuk di Indoensia adalah ancaman bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem, berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dan berdampak pada keanekaragaman hayati. (maspril aries)