Erdogan dan Kudeta yang Gagal di Turkiye (Bagian 1)
KAKI BUKIT – Pemilihan umum (Pemilu) di Turkiye untuk memilih Presiden dan anggota parlemen telah usai. Pada Pemilu yang berlangsung Ahad 14 Mei 2023. Hasilnya dari pemilu putaran pertama calon presiden dari Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) Recep Tayyip Erdogan memperoleh suara 49,51 persen. Pesaingnya Kemal Kilicdaroglu pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP) memperoleh suara 44,89 persen.
Karena diantara dua kandidat calon presiden tersebut tidak ada yang memperoleh suara 50 persen, maka pemilu presiden untuk putaran kedua akan berlangsung 28 Mei mendatang.
Calon presiden Recep Tayyip Erdogan yang juga calon pejawat saat ini berada di atas angin untuk bisa memenangkan pemilihan Presiden Turkiye pada Pemilu 2023. Namun beredar kabar adanya skenario menjegal Erdogan agar gagal pada pemilihan putaran kedua tersebut.
Media Barat menyebutkan adanya kemungkinan serangan terhadap ekonomi Turki untuk meningkatkan peluang calon presiden oposisi Kemal Kilicdaroglu mengalahkan Recep Tayyip Erdogan dalam pemilihan putaran kedua.
Sebelumnya pada pemilihan presiden putaran pertama, lembaga survei di Turkiye ramai-ramai melansir hasil survei bahwa Erdogan akan kalah dari pesaingnya Kemal Kilicdaroglu. Faktanya, hasil pemilu Turkiye menjungkirbalikan cata versi hasil survei tersebut. Ternyata yang unggul Erdogan dari Kilicdaroglu.
Bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan serangan seperti itu yang bertujuan menggulingkan dirinya dari kursi presiden bukan yang pertama. Pernah ada tahun 2016 upaya kudeta oleh militer untuk menurunkan Recep Tayyip Erdogan sebagai Presiden Turkiye. Namun upaya itu gagal, dia tetap menjadi Presiden Turkiye sampai Pemilu 2023 berlangsung.
Kudeta tersebut terjadi 15 Juli 2016 sekaligus menjadi saksi lahirnya sebuah pergolakan politik negara Turki. Kudeta tersebut merupakan upaya milter untuk menumbangkan rezim Erdogan yang tengah memegang tampuk kekuasaan. Kudeta yang dilakukan sekelompok perwira di tubuh Angkatan Bersenjata Turki. Kudeta terjadi saat Presiden Recep Tayyip Erdogan sedang berada di luar negeri. Kudeta dilakukan kelompok yang menamakan diri sebagai “Dewan Perdamaian” menyatakan mengambil alih kekuasaan, memberlakukan jam malam dan status darurat.
Presiden Erdogan langsung merespon kudeta tersebut dengan muncul melalui internet dan televisi nasional Turki yang menyerukan kepada rakyatnya untuk turun melawan pemberontak, dan hasilnya 60 orang tewas dan lebih dari 700 orang anggota Angkatan Bersenjata Turki ditahan.
Presiden Erdogan saat itu mengeluarkan dekrit state of emergency sebagai bentuk respons terhadap kegagalan kudeta militer, dan menangkap pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan upaya kudeta dan juga afiliasi dengan jaringan Hizmet.
Menurut laporan dari Human Rights Watch, sebanyak 100.000 aparatur sipil negara, dan 28.000 guru dipecat dan ada juga yang ditahan bersama dengan 2.200 hakim tanpa ada proses investigasi. Media, institusi pendidikan, rumah sakit, yayasan, dan asosiasi yang berafiliasi dengan Hizmet juga ikut dibubarkan dan asetnya disita oleh pemerintah tanpa proses peradilan.