Guru Sularno, Guru Ngatijo dan Guru Ruslaini Dijerat Hukum Pidana di Sumsel
KAKI BUKIT, Palembang – Seorang guru di Kabupaten Musi Rawas (Mura) Sumatera Selatan (Sumsel) bernama Sularno, 34 tahun kini tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Lubuklinggau, diadili dengan dakwaan jerat hukum pidana.
Sularno seorang guru honorer pada sekolah dasar (SD) Negeri Sungai Naik pada Kecamatan BTS Ulu menjadi terdakwa dalam perkara dugaan penganiayaan terhadap seorang muridnya bernama KV, 9 tahun. Orang tua siswa mengadu ke polisi dan kasus ini pun bergulir ke pengadilan.
Perkara ini mulanya perkara seperti tindak pidana pada umumnya, tidak mendapat perhatian khusus dari media massa atau wartawan yang ada di Lubuklinggau yang berjarak lebih dari 300 km dari Palembang.
Perkara ini pun menjadi ramai di media massa dan media sosial saat proses persidangan memasuki tahap penuntut umum. Jaksa menuntut Sularno dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp60 juta.
Bersamaan dengan itu pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2023, sekitar 1.000 guru dari Musi Rawas dan Lubuklinggau yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Musi Rawas dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) Musi Rawas berjunuk rasa.
Dengan mengenakan seragam PGRI para pendidik tersebut berunjuk rasa dengan berjalan kaki dari titik kumpul di Masjid As Salam Lubuklinggau menuju PN Lubuklinggau di Jalan Depati Said.
Aksi ini lalu mendapat liputan luas media massa dan juga media sosial. Para guru berunjuk rasa sebagai wujud solidaritas mereka kepada rekan sejawab sesama guru yang tengah menjadi terdakwa.
Dari Palembang, Ketua PGRI Sumsel Ahmad Zulinto menyatakan, Tim advokasi akan membantu atau mendampingi Sularno saat persidangan, dengan hadir langsung di pengadilan.”
Menurut Kurnai Kepala SD Negeri Sungai Naik, Sularno adalah guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK) yang mengajar dari kelas 1 hingga kelas 6. Dia satu-satunya guru PJOK atau olahraga di sekolah itu. “Tidak ada dia, tidak ada yang mengajar PJOK di sekolah kami,” katanya.
Sularno hanya seorang guru dengan status guru honorer yang sudah 10 tahun mengabdi sebagai guru. Dengan status guru honorer maka gaji Sularno sebesar Rp500.000 per bulan dibayar setelah dana bantuan operasional sekolah (BOS) cair.
Ternyata di Sumsel kasus serupa Sularno bukan kasus pertama, guru didakwa karena dituduh menganiaya muridnya. Tahun 2015 Pengadilan Negeri Prabumulih pernah mengadili seorang guru bernama Ngatijo bin Harjodimulyo, 56 tahun.
Ngatijo oleh majelis hakim PN Prabumulih, diputus terbukti bersalah melakukan tindak kekerasan kepada anak sehingga diancam pidana pasal 80 ayat 1 Undang[1]undang No.35 Tahun 2014 dan menghukum terdakwa Ngatijo dengan pidana penjara selama lima 5 bulan dengan masa percobaan selama 10 bulan.
Dalam putusan pengadilan menyebutkan, guru Ngatijo diajukan ke meja hijau dengan dakwaan melakukan tindakan kekerasan terhadap muridnya yang bernama Mis di lingkungan kelas 7 C SMP Yayasan Bhakti yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo Kelurahan Wonosari Kecamatan Prabumulih Utara, Kota Prabumulih.
Dalam putusannya majelis hakim PN Prabumulih menyatakan perbuatan terdakwa Ngatijo telah memenuhi unsur tindak pidana pada Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu orang yang melakukan kekerasan terhadap anak.
Sebelum hakim menjatuhkan amar putusan 5 bulan penjara, Jaksa menuntut Ngatijo dengan hukuman selama 6 (enam) bulan penjara karena terdakwa telah mengakui dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya.
Satu kasus lagi yang serupa dengan dakwaan pada Ngatijo menimpa guru Sekolah Dasar Negeri di Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang terjadi tahun 2015. Guru tersebut bernama Ruslaini, 55 tahun yang oleh jaksa didakwa melakukan kekerasan terhadap siswa Amelia.
Kemudian oleh Majelis Hakim PN Kayu Agung, dalam putusan No. 354/Pid.Sus/2015/PN.Kag diganjar hukuman pidana penjara terhadap terhadap terdakwa Ruslaini selama 4 bulan dengan perintah segera ditahan dan denda sebesar Rp 30.000.000 subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
Kasus yang menimpa Ngatijo dan Ruslaini tidak mendapat porsi liputan media massa dan media sosial secara luas. Perkara persidangannya lewat begitu saja tanpa ada liputan luas dari wartawan atau media massa. Berbeda halnya dengan perkara guru Sularno di PN Lubuklinggau.
Namun kasus atau perkara guru Ngatijo dan Ruslaini menjadi perhatian para akademisi perguruan tinggi yang melakukan penelitan dan kajian terhadap putusan PN Prabumulih No. 44/Pid.Sus/2015/PN.Pbm dan putusan No. 354/Pid.Sus/2015/PN.Kag. (maspril aries)