Gerobak Pintar, Chairil Anwar dan Pembelajaran Sastra di Sekolah
Rabun Membaca, Pincang Mengarang
Menurut Taufiq Ismail pada pidato penganugerahan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Sastra pada Universitas Negeri Yogyakarta, 2003 yang berjudul “Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang,” ‘’Walaupun telah beberapa kali berganti kurikulum baru, pembelajaran sastra di sekolah sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal sehingga lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan tujuan pembelajaran tersebut. Hal ini dapat terjadi karena sudah lama pembelajaran sastra di sekolah tergusur oleh pembelajaran tata bahasa, dengan perbandingan 10 – 20 persen berbanding 80 – 90 persen.”
Pembelajaran sastra yang dilakukan di sekolah-sekolah kita saat ini menurut Elfia Sukma, sebagian besar baru pada pengembangan pengetahuan tentang sastra, belum sampai pada pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra. Karya sastra belum dibaca dan dibahas secara tuntas, belum menjadi bahan diskusi dan pembahasan bagi siswa dan guru sehingga belum terjadi pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra tersebut.
Mengapa buku “Aku Ini Binatang Jalang” karya Chairil Anwar ada di “Gerobak Pintar” SD Negeri 14? Buku sastra apa pun judulnya, khususnya sastra anak memang harus tersedia di sekolah, di perpustakaan sekolah agar karya sastra tersebut dibaca dan dibahas menjadi bahan diskusi siswa dan para guru.
Ke depan saatnya mengisi dan menambah koleksi buku atau bahan bacaan perpustakaan sekolah dengan koleksi karya-karya sastra yang berkualitas dan memadai secara kuantitas.
Melalui penerapan program Belajar Merdeka diharapkan pembelajaran sastra tidak lagi menjadi anak tiri yang tidak diakui di sekolah. Menurut M Haryanto dalam “Menelaah Pembelajaran Sastra yang (Kembali) Belajar Merdeka di Era Merdeka Belajar,” (2020), “Sastra dengan banyak manfaatnya harus kembali di-merdekaan. Dijauhkan dari bayang-bayang alat tes dan angka-angka kelulusan numerik.”
Saat memerdekakan diri dalam pembelajaran sastra di sekolah yang hanya dengan aktivitas menghafal, mengerjakan soal, mencatat, dan mendengarkan ceramah. “Sastra akan sangat efektif membentuk kepribadian dan akhlak jika melalui apresiasi. Apresiasi tentunya akan meninggalkan hal-hal yang sifatnya menghafal namun juga aktifitas jiwa,” tulis M Haryanto.
Pembelajaran sastra harus merdeka karena sastra bukan anak tiri yang dianggap tidak begitu penting. “Hal ini menyebabkan mata pelajaran bahasa Indonesia yang seharusnya memiliki ”daya linuwih” dalam membentuk kepribadian, kini tak ubahnya hanya sekadar formalitas kurikulum. Sastra tidak boleh menjadi pembelajaran yang kering, monoton, dan tidak diminati.
Pesan M Haryanto, pada era merdeka belajar, tuntutan agar sastra bisa dikembangkan dengan pengajaran yang merdeka, membuat segala elemen pendidikan harus ”belajar merdeka” terlebih dahulu. Agar bisa benar-benar ”Merdeka Belajar”,utamanya para guru, sistem, dan kurikulum harus terlebih dahulu ”Belajar Merdeka”. Merdeka dari kemonotonan, merdeka dari hal membosankan, merdeka dari sekadar menjawab soal LKS, dan hal-hal lainya. Jazirah edukasi kita membutuhkan pembelajaran sastra yang kreatif dan inovatif. (maspril aries)