Gerobak Pintar, Chairil Anwar dan Pembelajaran Sastra di Sekolah
Jadi dalam pembelajaran sastra, selayaknya para siswa diakrabkan pada berbagai genre sastra anak-anak. Untuk meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, setiap siswa pada jenjang sekolah dasar diwajibkan membaca buku sastra (puisi anak, buku cerita anak, drama anak, dan dongeng/ cerita rakyat).
Pada waktu pembelajaran sastra, menurut Dadan Djuanda, siswa diberi kesempatan memahami, menikmati, dan sekaligus merespons apa yang telah mereka baca dengan cara-cara yang menarik minat mereka. Siswa harus mengadakan “transaksi” antara aktivitas jiwa siswa dengan karya sastra secara estetik.
Ada fakta lain ditemukan melengkapi penelitian Dadan Djuanda. Menurut Elfia Sukma Dosen PGSD FIP UNP dalam makalahnya berjudul “Pembelajaran Sastra yang Integratif Berbasis Kompetensi,” pelaksanaan pembelajaran sastra selama ini masih terasa sulit bagi guru, baik di sekolah dasar maupun di sekolah lanjutan. Pada umumnya guru membelajarkan siswa dengan menugaskan siswa membaca buku paket dan mengerjakan latihan-latihan yang terdapat di dalamnya. Akibatnya, pembelajaran sastra kurang dapat dimanfaatkan siswa untuk menambah wawasan dan mengembangkan kepribadiannya.
Sebelum era reformasi, sudah lebih dari dua dasawarsa para pakar telah berbicara tentang ketidakberhasilan pengajaran sastra di sekolah. Kurikulum telah berulang kali diganti atau direvisi dari Kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, juga sudah berulang kali seminar sastra dan upaya perbaikan terhadap berbagai komponen pengajaran sastra pun telah berkali-kali dilaksanakan.
Penyair Taufiq Ismail pernah menuliskan pengalamannya dalam tulisan bersambung yang dimuat di Harian Republika, 24 Oktober - 8 November 1997. Ia menulis, setelah melakukan pengamatan terhadap pengajaran sastra di 13 negara (Eropa, Amerika, Asia, termasuk Indonesia), membuat simpulan yang ironis.
Selama masa pendidikan di SMU siswa di Jerman sekurang-kurangnya telah membaca buku sastra 15 judul, di New York 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masing-masing 6 judul. Sementara di Indonesia 0 (nol) judul. Ini membuktikan bahwa pengajaran sastra di Indonesia belum beranjak dari tingkat menyedihkan sehingga siswa pun tidak menunjukkan minat yang serius untuk membaca dan mengapresiasi sastra.
Mengapa pelajaran sastra asing atau terasing di sekolah pada jenjang SD, SMP atau SMU? Menurut Tirto Suwondo dalam makalah “Ihwal Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar,” (1998), ada beberapa sebab mengapa sastra tetap asing bagi siswa SMU.
Salah satu di antaranya, barangkali, mereka terlanjur tidak memiliki kebiasaan membaca sastra sejak awal. Kebiasaan demikian tercipta karena kemungkinan besar ketika di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP) mereka juga tidak terbiasa atau tidak dibiasakan untuk membaca dan mengapresiasi sastra. Kondisi tersebut dapat terjadi karena memang pengajaran sastra di SD belum menjanjikan.
Padahal tujuan pembelajaran sastra adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra serta mengambil hikmah atas nilai-nilai luhur yang terselubung di dalamnya. Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra.