Kaum Milenial Tak Kenal Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
Catatan Yenrizal
KAKI BUKIT – Salah satu hasil G-20 lalu adalah soal konversi energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Ini menunjukkan bahwa soal energi adalah soal darurat di dunia. Kasus Srilanka yang sekarang sudah terkatagorikan “negara bangkrut” adalah bukti bahwa soal energi tak bisa main-main.
Data dari Dewan Eenergi Nasional (DEN) pernah merilis data bahwa di tahun 2045, konsumsi energi manusia di bumi akan meningkat 4 % per tahun (Tim Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, 2019). Sampai sekarang data yang ada menunjukkan bahwa produksi minyak bumi dan gas alam, terus menunjukkan penurunan. Sementara jumlah penduduk terus meningkat.
Solusi yang bisa diterapkan adalah pergantian penggunaan energi fosil ke EBT, sumber energi yang bisa dibuat dan disiapkan, ataupun tersedia dalam jumlah tak terbatas.
Tentu saja untuk melakukan perubahan ini tidaklah mudah. Secara fisik diperlukan infrastruktur yang lengkap dan teknologi tinggi. Investasi besar diperlukan, dan EBT butuh dana investasi banyak. Indonesia saat ini sedang berproses, dan disebut sedang dalam masa transisi konversi ke EBT.
Mengubah kebiasaan dari energi fosil ke EBT, juga perlu pembiasaan baru. Pembiasaan ini merujuk pada segala efek yang ditimbulkan, mulai dari berkurangnya pembagian dana hasil migas, pengurangan ataupun pengalihan jenis pekerjaan masyarakat, model dan bentuk kegiatan sehari-hari, serta kebiasaan hemat energi. Kebijakan ini memerlukan dukungan dari semua pihak, utamanya masyarakat sebagai pengguna dan juga bisa sebagai produsen.
Saya melakukan sebuah survei tentang hal ini, terutama pengetahuan kaum muda tentang EBT. Hasilnya menunjukkan bahwa 70% kaum milineal punya pengetahuan rendah tentang EBT. Bahkan hasil survei menunjukkan bahwa 50% responden mengatakan minyak bumi dan batubara termasuk pada kelompok EBT (Yenrizal, 2022). Sebuah pemahaman yang sangat memprihatinkan.
Jenis EBT yang paling banyak diketahui adalah Tenaga Surya (61,5%). Hasil ini kemudian connect dengan besarnya tingkat pengetahuan dengan semua jenis EBT, dimana dari jenis EBT (matahari, air, gas alam, biodiesel, tenaga angin) sebanyak 70% mengaku berpengetahuan rendah tentang hal tersebut, bahkan cenderung tidak tahu (Yenrizal, 2022).
Responden dalam riset tersebut adalah mahasiswa dengan kisaran usia 16-20 tahun. Kelompok ini tergolong kepada orang-orang yang sejatinya rutin mencari informasi dan berhubungan dengan berbagai perkembangan teknologi informasi, artinya kelompok yang sejatinya cukup melek dengan berbagai perkembangan terkini. Tetapi faktanya mereka justru memiliki pengetahuan rendah tentang isu energi dan perubahan iklim.
Kelompok kaum muda dan mahasiswa adalah kelompok yang penting sekali untuk diperhitungkan dalam bahasan EBT. Mereka termasuk pada kelompok pemakai energi (konsumen). Mereka memiliki jejaring yang kuat untuk bisa memberikan pengaruh kepada pihak lain tentang bagaimana seharusnya memperlakukan energi. Diusianya yang 20 tahun ke bawah, maka dalam 10 tahun ke depan, merekalah yang akan menjadi pelaku sekaligus pemain baik sebagai konsumen ataupun produsen. Ini pekerjaan terbesar yang belum tergarap.
Kita bisa berkaca pada Islandia, sebuah negara kepulauan di Eropa, tercatat sebagai negara yang mampu melakukan konversi energi fosil ke EBT, dimana 100% penggunaan listrik berasal dari pemanfaatan EBT. Negara ini memiliki ratusan Geyser, air terjun, sungai, dan sumber panas bumi. Semua itu kemudian berhasil dimanfaatkan sebagai sumber energi utama (ekonomi.bisnis.com, 17/05/2021).
Mengapa Islandia bisa? Selain karena sumber EBT yang berlimpah, terdapat kebijakan yang jelas, tegas dan sistematis sedari awal, dan kemudian itu berefek pada partisipasi publik yang tinggi. Munculnya kebijakan EBT di negara suhu dingin ini, awalnya dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia yang sangat memberatkan, karenanya dicarilah solusi alternatif energi lainnya. Kapan itu dimulai? Sejak 1960-an. Dan sekarang Islandia bisa dikatagorikan sebagai negara tersukses dalam pemanfaatan EBT.
Selain Islandia, banyak negara di Eropa juga sudah jauh-jauh hari merancang pemanfaatan EBT dalam aktifitas pembangunan dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada tahun 2020, 38% EBT (terutama energi angin dan matahari) berkontribusi terhadap pemakaian energi di 27 negara Eropa (CNBCIndonesia.com, 29/01/2021).
Sementara di Indonesia sendiri, dengan melihat potensi keseluruhan EBT yang mencapai 3.000 GW dan Panas Bumi adalah yang terbesar (esdm.go.id, 14/09/2022), seharusnya ini sudah bisa menjawab persoalan energi dimasa sekarang dan masa depan.
Tetapi kunci penting dalam soal EBT bukan semata-mata kesiapan infrastruktur dan pembangunan fisik. Kesiapan dan kesadaran semua pihak termasuk masyarakat untuk menyadari bahwa EBT adalah sebuah kebutuhan dan realitas, jauh lebih penting. Apabila masyaraka masih beranggapan bahwa soal energi di Indonesia masih aman-aman saja, niscaya tak ada gunanya. Darurat energi dan pentingnya EBT, mutlak jadi isu bersama dan berawal dari pengetahuan dan kesadaran.
Mengacu pada hasil survei di atas, kelompok kaum muda dan pelajar, adalah stakeholer yang akan menikmati sekaligus menjadi pelaku EBT di masa depan. Andai mereka tak tahu apa-apa soal EBT, kebijakan konversi energi akan sia-sia belaka. Disinilah literasi dan branding soal EBT penting dilakukan.
Oleh karena itu jika sekarang Kementerian ESDM sedang melakukan proses konversi EBT, seharusnya tidak hanya sektor fisik yang digeber. Aspek kesiapan dan dukungan partisipasi publik, mutlak harus dimasukkan. Gerakan literasi EBT yang massif penting dilakukan, dan untuk itu perlu sebuah metode branding tersendiri sehingga EBT bisa diterima dan dipahami semua pihak, termasuk kalangan milenial.
EBT pada dasarnya bisa dilakukan semua pihak, kuncinya adalah pada kemampuan berinovasi dan memulai pola hidup hemat energi. Kita yakin kaum milineal adalah kelompok yang mampu membuat berbagai terobosan, ide kreatif ada pada mereka. Tetapi itu hanya bisa muncul jika ada stimulus yang masuk dan kemudian menjadi makna penting dipemikiran mereka. Bicara EBT bukan sebatas teknologi dan infrastruktur, tapi ada manusia yang akan memanfaatkan dan membuatnya.
(Dr. Yenrizal, M.Si. Akademisi Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)