Warung Kopi Apek di Pertemuan Muara Sekanak dan Tepian Musi
"Kedai-kedai kopi di dunia adalah perguruan yang melahirkan para pecinta." (Nizar Qobbani)
KAKI BUKIT – Jika anda berselancar ke dunia maya melalui mesin pencari ketik kata “Kopi Apek” atau “Warung Kopi Apek” maka yang muncul adalah tentang salah satu kedai kopi yang sangat terkenal di kota Medan bernama Kedai Kopi Apek yang terletak di sudut Jalan Hindu.
Tapi ini bukan tentang kedai kopi legendaris di Medan yang sudah ada sejak 1922, melainkan tentang Warung Kopi yang ada di Palembang, yang tentu usianya kalah tua dibandingkan Kedai Kopi Apek di Medan.
Warung Kopi Apek di Palembang letaknya di belakang Pasar Sekanak yang terletak di Jalan Depaten Baru. Letak Warung Kopi Apek yang berdiri sejak 1972 persis berada di sudut pertemuan antara sungai Sekanak dan sungai Musi atau di tepian sungai Musi, sungai yang mengalir sejak dari Provinsi Bengkulu sampai ke Selat Bangka dengan panjang sekitar 720 kilometer.
Jika berkunjung ke Warung Kopi Apek di Sekanak wanti-wanti jangan sampai terlintas di benak pengunjung, suasana akan seperti warung kopi atau coffe shop yang tumbuh bak cendawan di musim pada zaman milenial. Warung Kopi Apek tak jauh berbeda dengan warung atau kedai kopi yang sudah ada dan lahir sejak masa sebelum kemerdekaan atau masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat berkunjung ke sana pertama kalinya, seorang advokat senior di Palembang Bambang Hariyanto yang sudah menjadi langganan setia Warung Kopi Apek berkata, “Kita ngopi-nya di sana di ruang VVIP,”
Tentu terbayangkan ruangan VVIP adalah ruangan yang megah dan mewah, wangi aromanya dan full ac. Ternyata sebutan nama “VVIP” hanya kata candaan untuk sebuah bangun yang mirip pos jaga di depan rumah pejabat tinggi yang letaknya persis di tepian sungai Musi. Bangunan yang tiangnya dari besi bulat di tengahnya ada meja kecil yang di kelilingi kursi. Bangunan ini bekas tempat menunggu para penumpang kapal ketek yang akan menuju kampungnya di hulu atau hilir sungai Musi.
Warung Kopi Apek tidak menyajikan aneka ramuan kopi seperti yang ada di kedai kopi modern. Yang ada di sini kopi hitam pahit, manis atau kopi susu juga ada teh manis dan teh susu dengan makanan ringan aneka kue termasuk jajanan pasar. “Ada menunya yang istimewa di sini, mie indomie aneka rasa dan jenis,” ujar Antoni Toha advokat senior yang kerap datang ke sini bersama komunitas pencinta dan penggemar vespa di Palembang bernama Bantoria Vespa.
Menurut Bambang Hariyanto yang juga Penasehat Bantoria Vespa Palembang, selain mereka ada banyak komunitas lain yang kerap datang dan ngopi bersama di sudut pertemuan sungai Sekanak dan sunga Musi tersebut. “Beragam komunitas kerap nongkrong di sini dari komunitas anak muda sampai komunitas yang sudah seusia kami di atas kepala 50 tahun,” katanya.
Apek sendiri mengaku warung kopi tersebut buka sejak 1972, para pengunjung yang datang awalnya kebanyakan mereka yang datang dan belanja ke Pasar Sekanak yang dalam beberapa literatur disebut sebagai pasar tradisional pertama di Palembang yang ada di daratan, karena masa lalu jual beli berbagai barang kebutuhan berada di pasar terapung di Sungai Musi.
Untuk menjangkau Warung Kopi tak sulit. Datang ke Pasar Sekanak lalu masuk ke dalam pasar terus menuju bagian belakang pasar yang menghadap ke Sungai Musi. Atau dari samping pasar dengan menyusuri pinggir tepi Sungai Sekanak.
Sejarah Pasar Sekanak
Seiring usia pasar yang semakin tua, pasar tersebut ke mulai sepi pengunjung. Para pedagangnya pun pindah, ada yang pindah ke Pasar Suro atau ke pasar yang ada di kawasan jembatan Musi 2. Namun Warung Kopi Apek bersama beberapa warung lainnya masih setia menunggu datangnya pembeli.
Warung Kopi Apek sendiri masih setiap berdiri menanti pembeli yang ingin menghirup kopi panas dengan suasana berbeda ditemani tiupan angin Sungai Musi yang padat lalu lintas transportasi sungai. Sementara bangunan bangun kios lainnya di Pasar Sekanak banyak yang rusak termakan usia dan tidak berfungsi karena ditinggal pemiliknya.
Beberapa pengunjung Warung Kopi Apek mengaku minum kopi di sana bukan semata-mata faktor kenikmatan dari rasa kopi yang disuguhkan “barista” berpengalaman bernama Apek, tapi karena keindahan Sungai Musi yang sudah sangat terkenal, seperti dilukiskan Golden Wing grup band rock tahun 1970-an berjudul “Mutiara Palembang” dan “Gadis Kota Musi.”
Sebelumnya ada lagu berjudul “Sebiduk di Sungai Musi” yang disenandungkan penyanyi Alfian pada tahun 1960-an. Atau grup musik asal Papua dulu Irian Jaya, Black Brothers melantukan lagu berjudul “Janji Sungai Musi.”
Menyeruput kopi di Warung Kopi Apek adalah kenikmatan aroma kopi yang dihiasi keindahan Sungai Musi. Ketika menoleh ke arah kanan ada Jembatan Musi 6 jembatan yang baru selesai dibangun tahun 2000-an. Menoleh ke kiri ada jembatan Ampera yang menjadi landmark kota Palembang.
Keindahan dan kebersihan di sekitar warung kopi butuh sentuhan dan kepedulian dari mereka yang kerap berteriak tentang ekonomi kreatif. Di Warung Kopi Apek, di muara Sungai Sekanak dan tepian Musi butuh sentuhan para penggerak ekonomi kreatif dan tentunya investasi serta para pembuat kebijakan di pemerintahan.
Wali kota Palembang Harnojoyo pernah berkunjung ke Warung Kopi Apek. Bukti foto kunjungan Harnojoyo masih terpampang jelas di dinding warung kopi tersebut. Walau ada kedatangan orang nomor satu di Palembang, Warung Kopi Apek dan lingkungannya sekitarnya belum mendapat sentuhan perubahan. Eceng gondok masih terapung di muara sungai dengan air berwarna hitam, bangun-bangunan yang kosong tak berpenghuni juga ada atap dan dindingnya yang lepas.
Warung Kopi Apek memang tak luas, tetapi warung kopi itu menjadi saksi sejarah panjang dari sebuah pasar bernama Pasar Sekanak. Bak mesin waktu, Pasar Sekanak adalah pengingat masa lalu seperti cerita Zamrul Hakim mantan seorang karyawan BUMN tambang yang punya kenangan dengan pasar tersebut karena saat kecil keluarganya tinggal di kawasan Jalan Depaten Baru. “Aku baru tahu kalau di situ ada Warung Kopi Apek yang terkenal,” katanya.
Jika membalik sejarah masa lalu Palembang, maka saat itu muara Sungai Sekanak atau pertemuan dengan sungai Musi adalah pasar ikan, sehingga Sekanak dikenal sebagai pasar tempat memperjualbelikan segala jenis ikan sungai yang ditangkap baik oleh penduduk sekitar maupun penduduk pedalaman.
Itu cerita masa lalu. Kemudian Pasar Sekanak berkembang sama seperti pasar-pasar tradisional lainnya, pedagangnya menjual aneka jenis dagangan dari yang siap saji, siap pakai maksudnya pakaian sampai menjual bahan kebutuhan pertanian.
Menurut kisahnya, boleh juga disebut menurut sejarahnya, pasar-pasar di Palembang tidak terlepas dari sungai, tentunya sungai Musi. Sungai Musi adalah saksi dari sejarah pasar di kota ini.
Palembang sendiri sejak dulu sudah dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan di Nusantara yang memiliki jaringan perdagangan dengan berbagai kota lainnya di Nusantara bahkan sampai ke Asia dan Eropa. Banyak ahli sejarah menulis, Palembang sebagai kota perdagangan antar negara dengan kemajuan perekonomian yang sangat pesat.
Perekonomian kota Palembang menurut sejarahnya bermula dari perdagangan di atas sungai Musi yang mengalir ke Selat Bangka. Sungai Musi terhubung dengan sungai lainnya yang menghubungkan daerah hilir dan daerah hulu sebagai daerah penghasil sumberdaya alam.
Perdagangan atau jual beli warga Palembang bermula di atas permukaan air seperti pasar terapung atau warung di atas rakit, di sanalah tempat masyarakat elakukan aktivitas jual beli dan membuka rumah makan. Pasar yang ada seperti Pasar 16 Ilir, Pasar Sekanak, Pasar Banjas, Pasar Kuto adalah pasar yang terbentuk karena kegiatan pertemuan perahu di atas sungai.
Mengutip Utomo BD, Djohan Hanafiah dkk dalam “Perkembangan Kota Palembang dari Wanua Sriwijaya Menuju Palembang Modern,” (2005), saat lahirnya Undang-Undang Desentralisasi dengan terbentuknya kota otonom, Gemeente Palembang sejak 1 April 1906 secara perlahan membangun Palembang baru dengan berbagai pembangunan.
Ketika L.G Lavire menjadi wali kota pertama dan diteruskan oleh Cocq d’Armandviile sejak tahun 1919 mulai ada aktivitas pembangunan fisik secara besar-besaran. Akibat dari kebijakan ini diadakan perkembangan infrastruktur di beberapa objek bangunan salah satunya di buatnya pasar buatan Belanda guna menyamaratakan perekonomian di daratan.
Sudah masa pemerintahan Kolonial Belanda, Palembang dikenal sebagai kota dagang tradisional yang berkembang menjadi modern. Ada banyak simbol-simbol kota dagang modern sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan Mulai dibangun yang menjadi peninggalan zaman kolonial yang saat ini sebagian masih terlihat bentuknya. Bangunan Pasar Sekanak saat ini memang bukan sisa peninggalan kolonial karena sudah banyak yang berubah.
Dalam catatan sejarah ada yang menyebutkan Pasar Sekanak adalah pasar tertua atau pasar pertama di Palembang yang berada di daratan. Namun catatan yang lain menyebutkan Pasar 16 Ilir yang juga terletak di tepi Sungai Musi tak jauh dari jembatan Ampera yang dipermanenkan sejak tahun 1939 disebut sebagai pasar tertua di Palembang.
Dalam penelitian berjudul “Dinamika Pasar Sekanak di Kota Palembang 2010-2016” (2020) Vini Anggarini, Farida dan Alian dari Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya (Unsri) menyebutkan, pasar tertua di Palembang yakni Pasar Sekanak karena di salah satu gedung pasar terdapat tulisan tahun 1921 yang menunjukkan tahun berdirinya gedung tersebut.
Pasar Sekanak sekarang walau sebuah aset sejarah perekonomian karena sebagai salah satu pasar yang tertua di Kota Palembang kini berwajah suram dan sepi, pasar ini butuh sentuhan mereka yang peduli agar dapat bertahan di era modern dan tidak terlindas zaman seperti nasib Pasar Cinde yang sangat mengenaskan.
Jika anda peminat sejarah silahkan datang ke Pasar Sekanak untuk menguak kembali sejarah masa lalu pasar pertama di Palembang. Namun jika anda penikmat kopi datanglah ke Pasar Sekanak dan singgah ke Warung Kopi Apek seraya menikmati indahnya Sungai Musi. (maspril aries)