Home > Literasi

Ada 45 KI Komunal dan 4 IG di Sumsel. Apa itu KI Komunal & IG?

Kekayaan intelektual komunal harus dijaga karena ikut meningkatkan keuntungan ekonomi, terciptanya, keadilan dalam sistem perdagangan dunia dan melindungan hak-hak masyarakat lokal.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada pembukaan Rakernis membahas Kekayaan Intelektual (KI) Komunal di Jakarta beberapa waktu lalu. (FOTO : www.kemenkumham.go.id)

KAKI BUKIT – Beberapa waktu lalu, ada produk seni, budaya dan kuliner Indonesia yang mendapat klaim dari negara lain. Seperti rendang yang diklaim Malaysia, lalu kabarnya ada lebih dari 19 paten tentang tempe tersebar di Amerika Serikat sampai ke Jepang. Yang terbaru kain songket, Unesco telah menetapkan kain songket sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia atau Intangible Cultural Heritage dari Malaysia. Setelah itu entah apa lagi?

Klaim yang terjadi dari negara lain terhadap produk seni, budaya dan kuliner menjadi potret bahwa perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual (KI) atau hak kekayaan intelektual (HKI) yang dihasilkan masyarakat tradisional hingga saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang kuat. Masih dibutuhkan perlindungan hukum kekayaan intelektual yang maksimal.

Di Sumatera Selatan (Sumsel) perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual (KI) mendapat perhatian besar dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Sumsel. Daerah ini menjadi salah satu provinsi gigih dan serius memberikan perhatian dalam perlindungan kekayaan intelektual melalui pendaftaran dan pencatatan kekayaan intelektual.

Menurut Kepala Kanwil Kemenkumham Sumsel Harun Sulianto, “Saat ini Kekayaan Intelektual Komunal Sumsel yang tercatat di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM sebanyak 45 KI komunal.”

Sementara Indikasi Geografis (IG) yang sudah mendapatkan sertifikat berjumlah empat yaitu kopi robusta Semendo Muara Enim, kopi robusta Empat Lawang, duku Komering Sumsel dan kopi robusta Pagaralam. “Masih ada yang dalam pemeriksaan substantif di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yaitu kopi robusta Lahat, kopi robusta Muara Dua dan gambir toman Musi Banyuasin,” katanya.

Kanwil Kemenkumham menurut Harun Sulianto, akan terus mendorong pemerintah kabupaten dan kota di Sumsel agar pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya trasional daerah untuk dicatatkan kekayaan intelektual komunalnya melalui Kemenkumham sehingga mendapatkan perlindungan hukum. “Ada tari-tarian daerah, lagu daerah, rumah adat, upacara adat, senjata tradisional, kuliner dan sebagainya perlu untuk dicatatkan kekayaan intelektual komunalnya dan kami siap memfasilitasi,” ujarnya.

Adakah masyarakat mengerti dan tahu apa itu kekayaan intelektual komunal? Seberapa pentingnya KI komunal dalam pemulihan ekonomi bagi masyarakat pasca pandemi Covid-19?

Sejarah HKI

Tonggak sejarah pengaturan hak kekayaan intelektual di dunia berawal dari Konferensi Diplomatik tahun 1883 di Paris yang menghasilkan perjanjian internasional mengenai Perlindungan Hukum Milik Perindustrian atau disebut Paris Convention for The Protection on Industrial Property-Paris Convention.

Tiga tahun kemudian di Bern dihasilkan juga perjanjian internasional di bidang Perlindungan Hak Cipta yaitu International Convention for The Protection of Literary and Artistic Work (Bern Convention). Revisi terakhir terhadap kedua konvensi tersebut dilakukan tahun 1967 untuk Konvensi Paris dan tahun 1971 untuk Konvensi Bern.

Perlindungan terhadap karya cipta diperluas terhadap karya-karya tampilan pada suatu phonogram, produser phonogram dan hasil siaran, seperti yang diatur dalam International Convention for The Protection of Performers, Producers of Phonogram and Broadcasting Organizations (Rome Convention 1961), Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuit (Washington Treaty 1989) memberikan perlindungan atas tampilan Desain Tata Letak Sirkit Terpadu (DTLST). Melalui konferensi internasional tahun 1967 di Stockholm dibentuk World Intellectual Property Organization (WIPO).

Tahun 1970 PBB menetapkan WIPO menjadi Badan Khusus (Specialized Agencies). Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menjadi salah satu isu penting pada era globalisasi dan liberalisasi. Kemudian menjadi salah satu agenda di dalam perundingan Putaran Uruguay atau Uruguay Round yang berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994. Perundingan yang melahirkan World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia dan juga disepakatinya perjanjian internasional tentang Aspek-aspek Hak kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (Trade Related Aspects oIntellectual Property Rights-TRIPs Agreement).

Mengutip WIPO istilah kekayaan intelektual (KI) berasal dari bahasa Inggris yaitu Intellectual Property yang berarti ciptaan yang dihasilkan melalui kemampuan intelektual (creation of mind) yang meliputi penemuan, karya tulis dan karya-karya yang bersifat artistik, simbol, nama, gambar, dan desain yang digunakan dalam kegiatan perdagangan.

Dalam WTO, pengertian kekayaan intelektual yaitu hak-hak yang diberikan kepada orang perorang terkait dengan hasil karya yang diciptakannya. Pemberian hak ini dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan property rights dapat berasal dari sesuatu baik yang berwujud fisik maupun yang tidak berwujud. Berdasarkan kesepakatan WTO terdapat beberapa macam hak kekayaan intelektual di dunia yang telah disepakati bersama yang diakomodasi dalam TRIPs yang mencakup peraturan, norma dan standar perlindungan KI.

TRIPs sendiri telah diratifikasi oleh lebih dari 150 negara di dunia termasuk Indonesia. Perjanjian ini mengukuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang lebih ketat dan memperluas ruang lingkup perlindungan HKI dari perjanjian internasional sebelumnya yang diprakarsai oleh WIPO. Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI dan melakukan revisi dan juga mengeluarkan peraturan baru di bidang perlindungan HKI.

Di Indonesia sebelum menciptakan regulasi tentang hak cipta nasional telah memberlakukan Auterswet 1912 (Stb. 1912 No.600). Tahun 1982 Indonesia berhasil membuat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta regulasi pertama mengenai hak cipta. Lalu disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dan disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2020.

KI Komunal & IG

Menurut Krisnani Setyowati, dkk dalam “Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi,” (2005), kekayaan intelektual terdiri atas dua : Pertama kepemilikan Personal yang terdiri atas Hak Cipta (Copyright) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) meliputi Paten (Patent), Merek (Trademark), Rahasia Dagang (Trade Secret), Desain Industri (Industrial Design), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Circuit Layout), serta Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety).

Kedua kepemilikan Komunal mencakup ekspresi budaya tradisional (tradisional culture expressions), pengetahuan tradisional (tradisional knowledge), indikasi asal dan indikasi geografis (indication of origin and geographical indication) dan sumber daya genetik (genetik recources).

Kekayaan intelektual (KI) komunal adalah kekayaan intelektual yang dimiliki oleh masyarakat umum bersifat komunal yang terdiri dari empat jenis yaitu indikasi geografis, pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, dan ekspresi budaya tradisional.

Ekspresi Budaya Tradisional (traditional culture expressions) adalah warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, serta dipelihara oleh masyarakat lokal berupa karya intelektual dalam bidang seni. Kemudian pengetahuan tradisional (traditional knowledge) berupa hasil inovasi atau kreasi manusia dari segi pengetahuan, seni, dan sastra disebut pengetahuan tradisional.

Indikasi Asal dan Indikasi Geografis (indication of origin and geographical indication) adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang dilindungi oleh negara. Dan Sumber Daya Genetik (genetic resources) yaitu jenis mahkluk hidup seperti tanaman, hewan, atau jasad renik yang memiliki kemampuan untuk menurunkan sifat ke generasi berikutnya disebut sumber daya genetik.

Bergabungnya Indonesia dalam TRIPs menurut Martini, Haq, and Sutrisno, dalam “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Obat-Obatan Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia (Studi Pada Masyarakat Tradisional Sasak),” menjadi pilihan yang dilematis karena di satu sisi TRIPs berdominasi pada unsur komersialisasi dan individualisme sehingga mengabaikan kekayaan intelektual komunal. Namun, di sisi lain mengabaikan TRIPs akan mencipta kerugian karena hilangnya akses pasar dan fasilitas yang disediakan oleh WTO.

OK. Saidin dalam “Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,” (2006) menuliskan bahwa , “Di Indonesia Pemegang HKI kadang tidak menganggap sebagai pelanggaran serius apabila HKI-nya dipergunakan oleh pihak lain tanpa izin. Bahkan tak jarang yang merasa bangga ketika karyanya ditiru orang lain. Budaya ini cukup mengakar di masyarakat, sehingga dengan pandangan tidak dianggapnya sebagai pelanggaran dalam penggunaan HKI orang lain tanpa izin, menandakan bahwa budaya ini seolah sudah menjadi hukum adat.”

Selain perlindungan hukum terhadap HKI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2003 telah mengeluarkan fatwa terkait HKI. Isi fatwa tersebut mengharamkan tindakan pembajakan terhadap karya cipta. Fatwa MUI menegaskan bahwa HKI dipandang sebagai kekayaan yang mendapat perlindungan hukum seperti mal dalam Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum Islam dan segala macam bentuk pelanggaran terhadap HKI merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.

Fakta lain seperti yang dinyatakan Winda Risna Yessiningrum dalam “Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual,” (2015), “Sebagai negara berkembang, kekayaan intelektual komunal Indonesia masih belum berdaulat sehingga produk unggulan Indonesia rawan dicuri dan diakui. Masyarakat cenderung tidak tertarik untuk mengambil manfaat ekonomi dari kekayaan intelektual komunal karena minimnya pengetahuan mereka.”

Padahal kekayaan intelektual komunal harus dijaga karena beberapa alasan, yaitu meningkatkan keuntungan ekonomi, terciptanya keadilan dalam sistem perdagangan dunia dan melindungan hak-hak masyarakat lokal.

Indonesia atau Sumatera Selatan dengan keberagaman budaya dapat menciptakan peluang baru untuk membangun ekonomi negeri berkolaborasi dengan ekonomi kreatif sehingga menjadi pilar ekonomi pasca pandemi Covid-19. Dan kekayaan intelektual (KI) komunal menjadi salah satu pilar ekonomi tersebut yang harus dijaga dan dilindungi.

Pemerintah harus memberikan terhadap kekayaan intelektual komunal yang masih perlu terus ditingkatkan. Perlindungan HKI harus berdaulat dan perlu regulasi khusus dengan segera dibahas dan disahkannya RUU PTEBT (Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional) segera disahkan demi melindungi kekayaan intelektual komunal Indonesia. (maspril aries)

× Image